Universitas Bina DarmaFakultas Psikologi |
PSIKOTERAPI
(Konseling dan Psikoterapi)
DESTI AMINDARI
08181056
Kuliah : Psikoterapi
Semester : 6
Tahun : 2010/2011
PENGANTAR
Kuliah Psikoterapi pada hemat kami jauh lebih efektif apabila didahului oleh mata pelajaran Konseling. Kuliah ini mengambil buku Gerald Corey ”Theory and Practice of Cancelling and Psychotherapy” sebagai referensi utama. Walaupun buku asli itu terbitan sekitar tahun 1991, namun masih sangat relevan sebagai pengetahuan dasar bagi mahasiswa Fakultas Psikologi non-profesi dalam memahami teori dan praktek terapi-terapi kontemporer.
Referensi lain tentu memperkaya kuliah ini, yaitu buku-buku:
- Gerald C. Davison, John M. Neale, dan Ann M. Kring, “Abnormal Psychology”, terbitan asli tahun 1994
- Jeffry S. Nevid, Spencer A. Rathus, dan Beverly Greene, “Abnormal Psychology in a Changing World” terbitan asli tahun 2003
- Singgih D. Gunarsa, “Konseling dan Psikoterapi”, terbitan 1992 untuk memahami dasar-dasar dari Konseling.
I. PENDAHULUAN
Konseling dan psikoterapi memiliki tujuan yang sama, yaitu merubah perilaku ke arah yang lebih positif. Walaupun keduanya memiliki beberapa perbedaan, konseling dan psikoterapi memiliki garis kontinum yang sama, sehingga pendekatan teori dan teknik yang digunakan juga sama.
Setiap pendekatan psikologi memberikan sumbangan yang unik namun memiliki keterbatasan dalam penerapan konseling dan psikoterapi. Setiap pendekatan teknik konseling dan psikoterapi juga memiliki sumbangan yang unik namun juga memiliki keterbatasan untuk diterapkan pada setiap kasus.
Dalam perkembangan teori sampai saat ini, tidak ada model teoritis tunggal yang sepenuhnya mampu mencakup segenap dimensi yang unik dari berbagai konseling dan psikoterapi. Jadi eklektisisme yang lebih kompehensif dan efektif untuk suatu kasus kepribadian sangat dianjurkan dari pada bila konselor/terapis bertahan pada satu pendekatan saja.
Pemilihan pendekatan teori (psikologi) dan teknik-teknik konseling/psikoterapi yang digunakan hendaknya dipadukan dengan kepribadian konselor/terapis sendiri.
Kuliah ”Psikoterapi” ini tidak membedakan konseling dan psikoterapi dari segi pendekatan dan teknik. Perbedaan tetap ada, terapis menjalankan psikoterapi, konselor melaksanakan konseling. Penggunaan istilah apakah seseorang itu terapis atau konselor, berkaitan dengan masalah yang dihadapi klien.
II. SEJARAH KONSELING dan PSIKOTERAPI
Sejarah psikoterapi jauh mendahului konseling. Dimulai sejak manusia mederita penyakit akibat ”gangguan roh halus”, hingga lahirnya pendekatan dari teori-teori psikologi, seperti antara lain terapi rasional-emotif dan antara lain teknik EFT (Emotional Freedom Technique).
Sejarah konseling sebagai profesi dimulai pada saat kebutuhan untuk lebih efektif muncul terutama pada penyelesaian masalah perkembangan individu, pendidikan, dan penjurusan sekolah dan penempatan di organisasi.
A. Sejarah Psikoterapi
- Pada zaman Yunani Kuno. Hippocrates sebagai "bapak" dari ilmu kedokteran modern, menggunakan metode observasi, pengontrolan dan penyimpulan rasional dari sesuatu gejala, dan memisahkannya dari prasangka gangguan roh halus dan sejenisnya.
· Teknik psikoterapi digunakan untuk menangani penderita sakit jiwa, antara lain, rekreasi, istirahat, berpantang makan, pemijatan dan latihan fisik. Prajurit yang gelisah dibawa ke kuil, dibaringkan di balai dari batu, disuruh menenangkan diri dan mendengarkan nasihat yang bijaksana dari rohaniawan.
Apa yang sudah dikemukakan oleh Hippocrates kemudian tenggelam pada zaman Romawi dan pada abad-abad pertengahan, ketika kekuatan-kekuatan supra-naturalisme muncul dan berpengaruh kembali.
- Pada abad ke 18, perhatian terhadap cara merawat penderita sakit jiwa meningkat. Mereka diperlakukan lebih manusiawi dan tempat penampungan untuk orang sakit jiwa berubah menjadi Rumah Sakit dengan penanganan yang lebih baik.
- Pada tahun 1780, Pinel memperkenalkan pendekatan melalui sikap ramah di Rumah Sakit dan ini dianggap sebagai permulaan dari pendekatan baru.
- Pada awal abad ke 19, muncul latihan penguasaan diri sebagai teknik perubahan perilaku,. Teknik ini berawal dari teknik hukuman untuk mengubah dan merekonstruksi seseorang agar kembali seperti keadaan sebelumnya.
· Suatu teknik yang juga dipakai sebagai dasar untuk merawat penderita penyakit "mania" oleh psikiater yang punya nama besar, yakni Benjamin Rush.
- Tokoh pembaharu lain adalah Dorothea Lynde Dix yang memprotes perlakuan keras dan kejam terhadap penderita sakit jiwa dan mengingatkan bahwa mereka juga mempunyai kebutuhan akan kebebasan fisik
- Dipengaruhi oleh pendekatan kemanusiaan inilah kemudian muncul teknik hipnosis dan sugesti. Dari Austria muncul nama Anton Mesmer [1734 - 1815], menggunakan hipnosis dengan sugesti-sugestinya untuk mengubah dorongan psikis pada mereka yang mengalami gangguan neurotik terutama penderita histeria, agar terjadi perubahan pada perilakunya.
- Pada abad ke-19, teknik hipnosis ini diperbaharui oleh Jean-Martin Charcot [1825-1893] dan Hippolyte Bernheim [1840-1919] di Perancis dan orientasinya menjadi lebih jelas, yakni bahwa gangguan-gangguan kejiwaan antara lain dilatar-belakangi oleh faktor-faktor psikologis yang bisa terdapat di bawah alam sadar seseorang yang ternyata menjadi faktor yang penting sekali.
- Paul Dubois [1848 - 1918] sebagai seorang dokter dari Swiss yang disebut sebagai psikoterapis pertama dalam dunia psikoterapi modern, yang mengunakan teknik bicara dalam menghadapi penderita-penderita penyakit jiwa [psikosis].
- Kemudian juga Pierre Janet [1859-1947] yang oleh Ellenberger [1970], disebut sebagai orang pertama yang menemukan sistem baru dalam psikiatri untuk mengganti apa yang telah ada pada abad ke-19. Pada waktu itu Janet tidak diragukan lagi sebagai psikoterapis yang besar dan dihargai.
- Teori dan teknik hipnotis dari Jean-Martin Charcot dan Hippolyte Bernheim telah melahirkan seorang besar dalam dunia pengetahuan, khususnya dalam psikoterapi, yakni Sigmund Freud [1856 - 1939] sebagai tokoh luar biasa, jenius, yang menemukan Psikoanalisis sebagai teknik psikoterapi yang besar sekali pengaruhnya dalam dunia kedokteran, psikiatri, dan psikologi, sehingga dianggap sebagai revolusi dalam dunia psikoterapi. Zaman keemasannya berlangsung lama, sampai kira-kira tahun 60-an
- Awal tahun 60-an, ditandai oleh berkembangnya psikologi-klinis dan psikologi-konseling, sebagai salah satu reaksi dari perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, setelah Perang Dunia Kedua. Muncul tokoh lain, yang dianggap pembaharu psikoterapi yakni Carl Rogers dengan konseling tidak langsungnya [nondirective counseling]
- Pada saat yang hampir bersamaan, muncul terapi perubahan perilaku [behavior therapy, behavior modification] yang mulai banyak mendapat sambutan pada akhir tahun 50-an dan awal tahun 1960 yang pendekatan dan tekniknya sangat berlawanan dengan psikoanalisis.
- Kemudian berkembang dengan berbagai model dan pendekatan yang banyak sekali, antara lain terapi kognitif.
· Disamping bermunculan metode dan teknik psikoterapi, juga banyak bermunculan terminologi baru yang terdengar asing dan bahkan aneh seperti: Anti-Expectation Psychotherapy Technique; Bioenergetic Analysis; Co-therapy; Feeling Therapy; Mandala Therapy; Partnership Therapy; Primal Therapy; Sector Therapy; Vita-Erg Therapy dan Zaraleya Psychoenergetic Technique. Sedemikian banyaknya sehingga sulit untuk diketahui, apalagi dipelajari dan diingat.
- Terlepas dari begitu banyaknya metode dan teknik baru dalam dunia psikoterapi, namun metode dan teknik yang tetap besar hanya meliputi:
· Terapi Psikoanalisis
· Terapi Behavioristik
· Terapi Eksistensial Humanistik
· Terapi Client-Centered dari Carl Rogers
· Terapi Gestalt
· Terapi Transaksional Analisis
· Terapi Rasional-Emotif
· Terapi Realitas
B. Sejarah Konseling
Konseling dimulai dari pemberian bantuan penasehatan, yang kemudian di-sistimatiskan dengan metode-metode tertentu pada obyek bantuan atas masalah tertentu, dan sistimatika dan metode dapat digunakan secara universal. Akhirnya konseling dilakukan secara profesional.
- Jesse B. Davis; konselor sekolah menengah di Detroit, tahun 1898 untuk:
- masalah pendidikan dan jurusan dikaitkan dengan pekerjaan dan jabatan
- 1907 diperluas menjadi bimbingan dan pembinaan moral yang berhubungan dengan kepribadian seseorang
- Frank Parsons; biro konsultasi di Boston, 1908 untuk:
- Memilih jurusan dalam pekerjaan dan jabatan
- 1913 pelopor bagi terbentuknya Ikatan Bimingan Kejuruan Nasional
- Guru-guru di sekolah menengah, mulai 1909 untuk:
- bimbingan dan konseling pendidikan dan kejuruan
- berkembang ke arah profesional
- Lembaga Riset Stabilisasi Pekerjaan, 1931 di Minnesota oleh Universitas Minnesota
- Program Penelitian Jabatan Nasional, Amerika Srikat, 1933
- Berkembang juga di bidang kesehatan dan kesejahteraan mental, 1908; terbit buku Cliford Beers mengenai pengalaman selama 3 tahun dirawat di rumah sakit jiwa.
- Berdiri Connecticut Society of Mental Hygiene, 1908
- Berdiri National Committee for Mental Hygiene, Amerika Serikat, 1909
- Perkembangan selanjutnya mulai Perang Dunia II:
- Pendidikan, kesulitan belajar di sekolah, tidak hanya di sekolah menengah
- Kejuruan sekolah dan pekerjaan
- Masalah kepribadian
- Masalah-masalah remaja
PENDUKUNG BIMBINGAN DAN KONSELING
1900an - Perang Dunia I:
· Tes psikologi untuk meramalkan keberhasilan seseorang dalam pekerjaan dan jabatan, terutama kepentingan pemerintah Amerika untu menyeleksi dan menempatkan tentara dalam Perang Dunia I
· Penelitian empiris dari Francis Galton, 1833, mengukur perbedaan individual dalam kemampuan dan bakat. Muncul istilah individual differences.
· Muncul teori Traits Factor
Di Indonesia, 1953
Slamet Iman Santoso, Prof. Dr., mendirikan pendidikan psikologi di Universitas Indonesia:
· Bimbingan dan konseling di bidang pendidikan dan kejuruan.
III. PERUMUSAN KONSELING DAN PSIKOTERAPI
A. Konseling
Perumusan konseling dilakukan oleh beberapa ahli dengan pendekatan dan penekanan yang berbeda-beda tergantung dari orientasi teori dan filsafat dasar yang dianutnya.
Stewart [1986], menyusun secara kronologis berbagai perumusan mengenai konseling sebagal berikut:
- Rogers [1942]: Suatu hubungan yang bebas dan berstruktur yang membiarkan klien memperoleh pengertian sendiri yang membimbingnya untuk menentukan langkah-langkah positif ke arah orientasi baru.
- Pepinsky & Pepinsky [1954]: Interaksi yang:
· Terjadi antara dua orang, yang satu disebut sebagai konselor dan yang lain sebagai klien.
· Berlangsung dalam kerangka profesional, dan
· Diarahkan agar memungkinkan terjadinya perubahan perilaku pada klien
- Smith [1955]: Suatu proses yang teIjadi dalam hubungan pribadi antara seseorang yang mengalami kesulitan dengan seorang yang profesional yang latihan dan pengalamannya mungkin dapat dipergunakan untuk membantu orang lain mampu memecahkan persoalan pribadinya.
- Blocher [1966]: Membantu seseorang agar menyadari reaksi-reaksi pribadi terhadap pengaruh perilaku dari lingkungan dan membantu seseorang membentuk makna dari perilakunya. Konseling juga membantu klien membentuk dan memperjelas rangkaian dari tujuan dan nilai-nilai untuk perilaku selanjutnya.
- Lewis [1970]: Adalah proses di mana seseorang yang mengalami kesulitan [klien] dibantu untuk merasakan dan selanjutnya bertindak dengan cara yang lebih memuaskan dirinya, welalui interaksi dengan seseorang yang tidak tidak terlibat,yaitu konselor,
Konselor memberikan informasi dan reaksi untuk mendorong klien mengembangkan perilaku untuk berhubungan secara lebih efektif dengan diri sendiri dan lingkungan.
- Bernard & Fullmer [1977]: Usaha untuk mengubah pandangan seseorang terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan fisik, Sebagai akibatnya, seseorang dibantu untuk mencapai identitas sebagai pribadi dan menentukan langkah-langkah untuk memupuk perasaan berharga, perasaan berarti dan bertanggung jawab.
- Ivey & Simek-Downing [1980]: Memberikan alternatif-alternatif, membantu klien dalam melepaskan dan merombak pola-pola lama, memungkinkan melakukan proses pengambilan keputusan dan menemukan pemecahan-pemecahan yang tepat terhadap masalah.
- Eisenberg [1983]: Menambah kekuatan pada klien untuk menghadapi, untuk mengikuti aktivitas yang mengarah ke kemajuan, dan untuk menentukan sesuatu keputusan. Konseling membantu klien agar mampu menguasai masalah yang segera dihadapi dan yang mungkin terjadi pada waktu yang akan datang.
- Perumusan dengan orientasi pendidikan, Good [1945]: Bantuan perorangan dan pribadi kepada mereka yang menghadapi masalah pribadi, pendidikan, kejuruan, dalam hal mana semua faktor yang penting dipelajari dan dianalisis, dicari jalan keluarnya, acap kali dengan bantuan ahli yang khusus, sumber-sumber yang ada di sekolah dan masyarakat dan wawancara pribadi untuk mengajar klien memutuskan sendiri.
A. Psikoterapi
Psikoterapi diartikan sebagai perawatan terhadap sesuatu penyakit gangguan psikis atau hambatan kepribadian dengan mempergunakan teknik psikologis untuk melakukan intervensi psikis yang ternyata mempengaruhi kondisi psikis dan kepribadian seseorang, sehingga terjadi perubahan sekalipun sistem, metode dan teknik yang dilakukan berlainan.
Contoh intervensi psikis:
─ mengulang-ulang apa yang diucapkan klien atau pasien [Rogerian];
─ menunjukkan kesalahan pada dasar dari gaya hidup seseorang [Adlerian];
─ mengajukan sesuatu yang berlawanan dari apa yang dikemukakan oleh klien atau pasien [rasional-emotif terapi].
Ciri Psikoterapi adalah (H.J. Eysenck):
¾ Hubungan antar individu yang berlangsung lama
¾ Melibatkan seseorang yang terlatih
¾ Ada ketidakpuasan klien tentang sesuatu yang emosional atau penyesuaian diri pada diri klien
¾ Pemakaian metode psikologi
¾ Aktivitas yang mendasarkan diri pada teori kelainan mental
¾ Melalui hubungan antar terapis dengan klien, bertujuan memperaiki ketidakpuasan terhadap diri sendiri
Banyaknya teori dan pendekatan, pandangan dan pemikiran para perumusnya, dan tidak selalu sesuai dengan praktek, juga dilakukan oleh disiplin ilmu lain, maka, oleh Watkins perumusan dibagi menjadi empat kelompok, yakni
- Kelompok pertama, yang menilai bahwa membebaskan pasien dari masalah yang menimbulkan gejala, kecemasan dan konflik sebagai tujuan utama dari psikoterapi, merumuskan:
● Psikoterapi adalah suatu bentuk dari perawatan [treatment] terhadap masalah-masalah yang dasarnya emosi, di mana seseorang yang terlatih, dengan seksama membentuk hubungan profesional dengan pasien dengan tujuan memindahkan, mengubah atau mencegah munculnya gejala dan menjadi perantara untuk menghilangkan pola-pola perilaku yang terhambat serta meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan positif dari kepribadiannya [Wolberg].
· Psikoterapi adalah suatu bentuk perawatan (treatment) terhadap masalah yang muncul dari faktor emosi. Terapis dengan terencana melakukan hubungan dengan pasien dengan tujuan memindahkan, mengubah suatu simptom, dan mencegah agar simptom tidak muncul kembali. Tujuannya untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkemangan pribadi secara lebih positif. (L.R. Wolberg)
· Psikoterapi adalah proses (penyembuhan) jangka panjang, berhubungan dengan upaya merekonstruksi seseorang sehingga terjadi perubahan yang lebih besar pada struktur kepribadian (Ivey and Simek-Downing)
· Proses formal dari interaksi antara dua pihak, setiap pihak biasanya terdiri dari satu orang, tetapi ada kemungkinan terdiri dari dua orang atau lebih pada setiap pihak, dengan tujuan memperbaiki keadaan yang tidak menyenangkan [distress] pada salah satu dari kedua pihak karena ketidakmampuan atau malafungsi pada salah satu dari bidang-bidang berikut:
─ fungsi kognitif [kelainan pada fungsi berpikir]
─ fungsi afektif [penderitaan atau kehidupan emosi yang tidak menyenangkan] atau
─ fungsi perilaku [ketidaktepatan perilaku], (Corsini, 1989)
- Kelompok kedua [Whitaker & Malone] yang menganggap bahwa tujuan terapi adalah membentuk perasaan adekuat pada diri sendiri, ada keterpaduan dalam diri sendiri dan kematangan pribadi, merumuskan:
● Psikoterapi dalam arti luas meliputi semua upaya untuk mempercepat pertumbuhan manusia sebagai pribadi.
- Kelompok ketiga (Whitaker & Malone) yang menitik beratkan bahwa sasaran psikoterapi adalah peningkatan hubungan-hubungan antar pribadi, meliputi kemampuan untuk memberi dan menerima kasih sayang, merumuskan:
● Perubahan pada aspek emosi dalam hubungan antar-pribadi yang meningkatkan pertumbuhan pada salah satu atau semua yang ikut terlibat.
- Kelompok keempat yang menitikberatkan pada usaha untuk mencapai penyesuaian dengan masyarakat dan kebudayaan [Rogers, 1942] dan merumuskan:
● Untuk mengganti perilaku dan mengubah sikap mereka yang gagal menyesuaikan diri agar memperoleh hasil yang lebih konstruktif.
IV. TUJUAN UMUM KONSELING DAN PSIKOTERAPI
Tujuan konseling dan psikoterapi bisa berbeda tergnatung dari pendekatan teoritis yang menjadi orientasi konselor/terapisnya.
Tujuan-tujuan umum atau menyeluruh dari konseling dan psikoterapi bisa terdiri atas:
- klien menjadi lebih menyadari diri, bergerak ke arah kesadaran yang lebih penuh atas kehidupan batinnya, dan menjadi kurang melakukan penyangkalan dan pendistorsian;
- klien menerima tanggung jawab yang lebih besar atas siapa dirinya, menerima perasaan-perasaannya sendiri, menghindari tindakan menyalahkan lingkungan dan orang lain atas keadaan dirinya, dan menyadari bahwa sekarang dia bertanggung jawab untuk apa yang dilakukannya;
- klien menjadi lebih berpegang pada kekuatan-kekuatan batin dan pribadinya sendiri, menghindari tindakan memainkan peran orang yang tak berdaya, dan menerima kekuatan yang dimilikinya untuk mengubah kehidupannya sendiri;
- klien memperjelas nilai-nilainya sendiri, mengambil perspektif yang lebih jelas atas masalah-masalah yang dihadapinya, dan menemukan dalam dirinya sendiri penyelesaian-penyelesaian bagi konflik-konflik yang dialaminya;
- klien menjadi lebih terintegrasi serta menghadapi, mengakui, menerima, dan menangani aspek-aspek dirinya yang terpecah dan diingkari, dan mengintegrasi semua perasaan dan pengalaman ke dalam keseluruhan hidupnya;
- klien belajar mengambil risiko yang akan membuka pintu-pintu ke arah cara-cara hidup yang baru serta menghargai kehidupan dengan ketidakpastiannya, yang diperlukan bagi pembangunan landasan untuk pertumbuhan;
- klien menjadi lebih mempercayai diri serta bersedia mendorong dirinya sendiri untuk melakukan apa yang dipilih untuk dilakukannya; dan
- klien menjadi lebih sadar atas alternatif-alternatif yang mungkin serta bersedia memilih bagi dirinya sendiri dan menerima konsekuensikonsekuensi dari pilihannya.
Selain tujuan umum, setiap terapi memiliki tujuan khusus sesuai pendekatan dan teknik-tekniknya.
V. PROSES-PROSES DALAM KONSELING dan PSIKOTERAPI
1. KEGIATAN MENOLONG ORANG LAIN
Kegiatan bimbingan dan konseling sering dilakukan untuk menolong orang lain:
· Orang selalu membutuhkan orang lain. Orang selalu berada dalam hubungan timbal balik dengan orang lain, saling menolong, dan bertemu dan bercakap-cakap.
· Disadari atau tidak, yang dilakukan secara pribadi
· Dilakukan oleh profesional tertentu; guru, bidan, mantri kesehatan, dokter, pekerja sosial, psikiater, psikolog, rohaniawan, atasan di tempat kerja, personnel officer/managers, baik secara pribadi atau badan
· Kegiatan bimbingan konseling oleh psikiater atau psikolog atau profesi lain- yang lebih mendalam disebut psikoterapi
2. KONSELING DAN PSIKOTERAPI UNTUK PERUBAHAN PERILAKU
▀ Dasar filsafat perubahan dalam konseling dan psikoterapi:
a. Perubahan perilaku bisa terjadi karena mengikuti auto genetic principle, artinya ada sesuatu yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, atau manusia berkembang menjadi apa sebagaimana ia sendiri yang melakukannya.
b. Filosofis manusia yang secara alamiah manusia adalah manusia yang in a process of changing.
c. Perubahan perilaku terjadi karena manusia “ada bersama orang lain” dan saling “mengalami” bersama
▀ Perubahan yang diharapkan:
· Perubahan diharapkan terjadi pada konstelasi kepribadian
· Bersifat menetap
· Mengubah atau mengganti bagian dari kepribadian atau perilaku yang tidak baik
· Perilaku patologis berubah menjadi sesuatu yang baru
· Perubahan yang bisa diterima oleh peribadinya maupun lingkungan hidupnya.
▀ Lingkungan Selama Proses Konseling
Perubahan perilaku bisa terjadi oleh pengaruh lingkungan melalui proses bela-jar atau proses kondisioning.
- Dengan lingkungan yang baru ia akan berubah.
- Bila perlu harus memasuki lingkungan tertentu supaya terjadi per-ubahan pada sebagian kepribadiannya
- Konselor bisa bertindak sebagai faktor luar yang mempengaruhi klien dengan hal-hal baru untuk menggantikan perilaku yang memang perlu diubah.
- Lingkungan terapi berarti klien ”mengalami” bersama konselor atau terapisnya. Atau mengalami bersama klien-klien lain bersama terapis dalam terapi kelompok.
3. TAHAPAN KONSELING DAN TERAPI
Tidak ada tahapan secara proseduril yang disepakati bersama, bagaimanapun konselor dan terapis memiliki orientasi teoritis dan filsafat mengenai manusia, kemampuan teknis, dan gaya konseling/terapi masing-masing yang saling berbeda.
Secara umum tahapan menyangkut hal-hal berikut:
1. Melakukan rapport, yaitu membuka hubungan baik dengan klien
2. Penjelasan masalah oleh klien, yaitu keluhan klien, sebab klien meminta bantuan
3. Perumusan tujuan-tujuan konseling/terapi, dan penjajakan berbagai alter-natif yang akan dilakukakan konselor/terapis dan klien
4. Persiapan konselor/terapis dalam berhubungan dengan klien
5. Proses terapeutik, menyangkut:
¾ peran dan fungsi konselor/terapis selama proses
¾ hubungan konselor/terapi dengan klien
¾ pengalaman klien selama proses
6. Rencana tindakan oleh klien, yaitu untuk penerapan di lingkungan nyata klien.
7. Penghentian konseling/terapi.
Dibawah ini tahapan yang dikemukakan oleh para ahli.
A. Enam Tahapan Konseling pada Steward Model
1. Penentuan tujuan konseling
2. Perumusan konseling
3. Pemahaman kebutuhan klien
4. Penjajagan berbagai alteratif
5. Perencaanaan tindakan
6. Penghentian konseling
B. Dua Tahapan Konseling oleh Brammer
Tahap I: Penciptaan Hubungan
a. | Memasuki fase konseling: (ENTRY) | Mempersiapkan klien dan membuka hubungan |
b. | Penjelasan: (CLARIFICATION) | Mengenai masalah dan yang ada kaitan-nya dengan masalah itu serta sebab-sebab mencari bantuan. |
c. | Menyusun struktur: (STRUCTURE) | Merumuskan kesepakatan apa yang akan dilakukan. |
d. | Membina hubungan: (RELATIONSHIP) | Hubungan yang bersifat bantuan |
TAHAP II: Pengadaan Fasilitas Diri
a. EXPLORATION: Menjajagi masalah, merumuskan masalah, merenca-nakan strategi, mengumpulkan fakta, pengungkapan perasaan yang mendalam dan mempelajari keterampilan baru.
b. CONSOLIDATION: Mengkonsolidasi dalam rangka menjajagi alternatif-alternatif, bekerja dengan dan melalui perasaannya dan mempraktikkan keterampilan baru.
c. PLANNING: Menyusun rencana untuk melakukan langkah-langkah dengan mempergunakan strategi untuk mengatasi konflik, mengurangi perasaan yang menyakitkan dan mengkonsolidasi serta menghimpun keterampilan dan atau perilaku untuk meneruskan aktivitas-aktivitas yang terarah untuk diri sendiri.
d. TERMINATION: Menghentikan konseling dengan melakukan penilaian terhadap hasil-hasil yang telah diperoleh.
C. Problem-Solving Model ; Ivey & Simek-Downing
Model ini mementingkan perlunya kreativitas untuk menentukan sesuatu keputusan, baik pada konselor maupun kliennya.
TAHAP I: Fase Perumusan Masalah
1. Perumusan masalah oleh klien.
2. Penjabaran alternatif perumusan masalah oleh konselor dan klien.
3. Keputusan untuk memilih satu perumusan masalah untuk diskusi awal.
TAHAP II: Fase Bekerja
1. Konselor mempertimbangkan macam-macam teori sebagai dasar alternatif pemecahan masalah dan tergantung orientasi teoretis yang dimiliki oleh konselor untuk dipergunakan. Kegiatan pada tahap ini ialah untuk memeriksa permasalahan agar memperoleh lebih banyak dan lebih mendalam mengenai kenyataan yang berhubungan dengan kondisi, pikiran maupun perasaan yang terjadi.
2. Konselor memilih cara yang utama untuk pelaksanaannya, didasari oleh teori dan keterampilan yang dimiliki. Kemungkinan memilih lebih dari satu teori bisa terjadi.
3. Konselor bersama klien memeriksa perumusan masalah dan menjabarkan cara-cara baru dalam menghadapi hal-hal yang muncul, menghadapi jawaban dan penyelesaian masalah dan kemungkinan menciptakan hal-hal baru untuk diskusi selanjutnya.
TAHAP III: Keputusan Melakukan Tindakan
1. Konselor dan klien telah memeriksa masalah dan sudah menjabarkan beberapa penyelesaian. Proses ini berlanjut dengan penjabaran terhadap sejumlah penyelesaian masalah secara maksimal.
2. Konselor dan klien memeriksa sederetan cara penyelesaian masalah dan membuat kesepakatan untuk melakukan kegiatan didasarkan pada cara pemecahan persoalan yang telah dipilih dan mempertimbangkan kemungkinan akibat-akibatnya. Cara pemecahan persoalan dapat diprioritaskan secara sistematik dengan memperhatikan penilaian mengenai akibat-akibatnya.
3. Klien menentukan cara penyelesaian masalah yang mana yang paling sesuai dan diuji di dalam lingkungan rumah.
D. Decision-making Model ; Stewart, Winborn, Johnson, Burks & Engelkes
1. Mengidentifikasi masalah. Langkah ini meliputi jawaban terhadap persoalan-persoalan seperti:
· Apa masalahnya? Apa yang menghambat penyelesaian masalah? Bilamana dan dalam keadaan apa masalah itu terjadi?
2. Identifikasi nilai-nilai dan tujuan. Pada fase ini sistem nilai yang dimiliki klien diperiksa sehingga penyelesaian masalah akan konsisten dengan sistem nilai pada klien dan tujuan jangka panjangnya.
3. Identifikasi alternatif. Perumusan berbagai kemungkinan alternatif.
4. Pemeriksaan alternatif. Memerlukan pertimbangan-pertimbangan mengenai keuntungan atau kerugian berdasarkan fakta.
5. Menyusun rancangan keputusan yang akan diambil dan perkiraan hasilnya.
6. Mengambil tindakan berdasarkan keputusan.
7. Menilai hasilnya.
3. TEMPAT
· Konseling bisa dilakukan disembarang tempat, namun harus memperhi-tungkan kemungkinan adanya pengaruh dari pemilihan tempat tertentu. Psikoterapi membutuhkan tempat yang lebih khusus.
· Tempat harus menimbulkan perasaan nyaman, pribadi (tidak didengar orang lain).
· Tempat dapat menimbulkan kepercayaan diri klien
4. INTERVIEW
Konseling dan psikoterapi bukan lah interview, meskipun interview sering dilakukan. Interview sudah merupakan bagian dari konseling dan psikoterapi dan berperan penting bagi keberhasilan atau kegagalan pada konseling/psikoterapi itu sendiri.
Intake interview
Case history (hasil tes, anamnesa)
Initial Interview
Tyler; 3 tujuan Initial Interview dalam kaitan dengan proses konseling ialah:
1. Menimbulkan suasana bahwa proses konseling dimulai.
2. Membuka aspek-aspek psikis pada diri klien seperti kehidupan perasaan dan sikapnya.
3. Menjelaskan struktur mengenai proses bantuan yang akan diberikan.
Eisenberg & Delaney; tujuan initial interview:
1. Merangsang adanya sikap keterbukaan, kejujuran dan komunikasi secara penuh agar kebutuhan yang dirasa perlu untuk dikemukakan serta faktor-faktor dan latar belakang yang berkaitan dapat dibicarakan.
2. Melakukan kegiatan untuk menaikkan tingkat pemahaman, harga diri dan kepercayaan antara dirinya dengan klien.
3. Memungkinkan klien memperoleh gambaran bahwa sesuatu yang berguna akan bisa diperoleh selama mengikuti konseling.
4. Perumusan masalah dan memperhatikan apa yang perlu diperhatikan dan dikejakan selanjutnya.
5. Membentuk suatu keseluruhan ["Gestalt"] bahwa konseling adalah proses pada mana kedua pihak harus bekerja keras untuk menjajagi dan memahami klien demi kepentingan klien sendiri.
6. Memperoleh keterangan tentang klien yang berkaitan dengan kepentingannya dan pemecahan masalah secara efektif.
® yang penting, nilai diagnostik pada setiap wawancara
Lima Tahap Interview dalam Konseling dan Terapi
1. Rapport
· Apa kabar?
2. Pengumpulan data klien
· Apa masalahnya?
3. Menentukan hasil sesuai dengan arah kemana klien inginkan
· Apa yang anda inginkan akan terjadi pada diri anda?
4. Mengemukakan macam-macam alternatif penyelesaian masalah
· Apa yang bisa kita lakukan mengenai hal itu?
5. Generalisasi dan pengalihan proses belajar
· Apakah anda mau melakukan hal itu?
VI. PERBEDAAN KONSELING DENGAN PSIKOTERAPI
Perlu tidaknya pembedasan antara Konseling dengan Psikoterapi
Pendapat pertama:
v Karena tujuan dan kegiatan konseling dan psikoterapi sama, maka tidak perlu ada perbedaan diantara keduanya
Pendapat kedua:
v Karena perlu kejelasan mengenai keprofesiannya, terutama kejelasan di mata masyarakat, maka keduanya perlu dibedakan
v Karena telah terbentuk organisasi-organisasi profesi yang berbeda disiplin keilmuannya namun melakukan kegiatan yang sama atau hampir sama maka perlu dibedakan diantara keduanya.
1. Perbedaan dalam fungsi dan tujuan
Konseling | Psikoterapi |
membantu seseorang dalam menghadapi tugas-tugas perkembangannya agar bisa dihadapi secara lancar, seperti pada perkembangan remaja, pendidikan dan pekerjaan, atau jabatan, dan mencegah munculnya gangguan dalam bidang kesejahteraan mental | membantu seseorang yang memiliki gangguan emosi, dan bertujuan pada penyembuhan |
menitikberatkan pada upaya pencegahan agar penyimpangan yang merusak klien tidak muncul. | menangani penyimpangan yang merusak dan kemudian menangani usaha pencegahan |
berhubungan dengan usaha mengatasi klien yang mengalami gangguan kecemasan biasa (normal anxiety) | berusaha menyembuhkan klien yang menderita neurosis-kecemasan (neurotic anxiety) |
membantu seseorang agar menemukan atau menumbuhkan identitas | membantu seseorang dalam merubah struktur dasar perkembangannya |
berhubungan dengan masalah perilaku yang timbul akibat peran | berhubungan dangan konflik yang ada dalam diri seseorang (intrapersonal) |
bertujuan memberikan support dan mendidik kembali | bertujuan merekonstruksi kembali kepribadian seseorang |
menitikberatkan pada: ¾ pengembangan (developmental), pendidikan (educative), dan ¾ pencegahan (preventive) | menitikberatkan pada pemunculan perilaku yang: ¾ diharapkan (remediative), ¾ penyesuaian (adjustive), dan ¾ penyembuhan (therapeutic) |
Konseling | Psikoterapi |
Stefflre and Grant (1972) | |
Tujuan konseling lebih terbatas, lebih melibatkan pada perkembangan seseorang pada situasi sesaat dan dengan usaha membawa seseorang agar bisa berfungsi secara adequate sesuai dengan perannya. | Tujuan psikoterapi lebih sentral pada pengubahan struktur kepribadian yang mendasar, jadi tidak hanya memperhatikan pada saat sekarang tetapi juga untuk masa mendatang. |
Brammer and Shostrom: | |
· Educational, vocational, supportive · Situational · Problem solving · Conscious awareness · Normal · Present-time and short-time | ¨ Supportive ¨ Depth emphasis ¨ Reconsructive ¨ Analytical ¨ Neurotics, severe emotional problems ¨ Past-time and long-term |
2. Perbedaan dalam hal klien, konselor dan penyelenggaraannya
Konseling
─ Klien tidak digolongkan penderita penyakit jiwa, tetapi dipandang sebagai seseorang yang mampu memilih tujuan-tujuannya, membuat keputusan dan secara umum bisa bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri dan terhadap hari depannya, namun masih membutuhkan professional help untuk mengatasai masalah yang tidak bisa diatasi sendiri agar ia dapat berfungsi lebih efektif
─ Konseling dipusatkan pada keadaan sekarang dan yang akan datang.
─ Konselor bukanlah tokoh otoriter melainkan adalah seorang "pendidik" dan "mitra" dari klien dalam melangkah bersama untuk mencapai tujuan. Konselor tidak menutupi nilai-nilai, perasaan dan normanya sendiri, namun juga tidak perlu memaksakan nilai-nilainya kepada klien.
Psikoterapi
─ Klien adalah pasien yang menderita neurosis atau psikosis, atau kepribadian yang terhambat, yang perlu direstrukturisasi kepribadiannya
3. Perbedaan dalam metode
Perbedaan antara keduanya tidak terlalu besar, karena beberapa metode pada masing-masing dipakai oleh konselor dan psikoterapis, seperti:
─ penciptaan rapport, peran masing-masing
─ arah dan kualitas hubungan atau pendekatan
─ menerima dan menghargai hakikat dan martabat pasien
─ menyadari keterbatasan masing-masing
VII. KONSELOR DAN TERAPIS
Apa yang terjadi dalam konseling/terapi:
¾ Konselor berhadapan langsung dengan klien, artinya ada (minimal) dua pribadi.
¾ Terjadi interaksi dua pribadi yang melibatkan faktor-faktor kognitif mau-pun afektif.
¾ Klien memberikan sesuatu dan konselor/terapis memberikan sesuatu pula, dan sebaliknya. Terdapat konstelasi kepribadian yang unik dari dua manusia.
¾ Interaksi yang positf diantara kedua manusia itu akan mengurangi kete-gangan dari klien.
¾ Selanjutnya konselor/terapis melaksanakan konseling/terapi, dan klien bisa memperoleh sesuatu.
¾ Konselor/terapis sebagai pribadi dengan macam-macam konstelasi kepribadiannya mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan konseling/ terapi.
¾ Alat yang dipakai dalam proses konseling/terapi adalah diri kon-selor/terapis sendiri (self-as-instrument).
Dengan memperhatikan hal tersebut, konselor dan terapis dituntut memiliki peran atau memiliki kemampuan sebagai:
1. Konselor/Terapis sebagai pendengar
· Dua telinga dan satu lidah
· Mimik wajah, gerakan tubuh yaitu komunikasi non verbal
· Mendengarkan untuk benar-benar mengerti dan benar-benar berempati
· Pengamatan (observasi) yang tajam
· Selama mendengar dan mengamati, terapis menilai perasaan-perasaan klien, mempertimbangkan apakah akan bertanya atau menunda bertanya, memikirkan komentar dan sugesti yang akan ditanyakan.
· Konselor lebih banyak mendengarkan dan hanya pada saat yang tepat, saat yang diperlukan dan dengan reaksi yang cepat- melakukan sesuatu yang lebih aktif (bertanya atau memberikan sugesti)
2. Konselor/Terapis memahami klien
· Masalah apa yang sedang dihadapai klien?
· Bagaimana klien memandangnya?
· Bagaimana lingkungan dengan kondisinya mempengaruhi klien?
· Dasar dan penyusunan teori apa untuk menghadapi klien?
· Langkah apa yang akan diamil selanjutnya? Juga langkah oleh klien?
3. Konselor/Terapis ber-empati terhadap klien
Simpati
ù Ikut merasakan atau bisa merasakan kesedihan (atau kegembiraan) orang lain
ù Bisa satu perasaan tetapi tetap ”berada di luar”, dan tetap menjadi diri sendiri
ù Perasaan yang menyertai
Empati
· Memasuki perasaan orang lain
· Benar-benar merasakan dan menghayati sebagai orang lain termasuk bagaimana ia menghadapi masalah sebagaimana orang lain itu
· Tidak sekedar sesuatu yang bersifat kognitif, tetapi juga emosi dan perasaan.
· Usaha mengalami dunia orang lain sebagaimana orang lain mengalaminya
· Kemampuan memasuki dunia pribadi orang lain (empathic understanding)
George and Christiani (1981)
─ Dengan berempati konselor dimungkinkan untuk bisa mendengar dan bereaksi terhadap kehidupan perasaan klien, yakni; marah, benci, takut menentang, tertekan dan gembira.
Rumusannya mengenai empati:
® Kemampuan untuk mengambil kerangka berfikir klien sehingga mampu memahami denan tepat kehidupan dunia dalam klien dan makna-maknanya, dan bisa dikomunikasikan kembali dengan jelas kepada klien
Steward (1986)
® Kemampuan untuk menempatkan diri di tempat orang lain supaya bisa memahami dan mengerti kebutuhan dan perasaan orang lain itu
4. Konselor/Terapis mampu memperhatikan komunikasi non-verbal
o “Verbal communication is a lie. The real communication is beyond words"
o interaksi antara konselor dan klien sering kali tergantung pada kornunikasi non-verbal diantara keduanya.
o Johnson (1981): 65% dari pengertian yang diperolehnya, berasal dari pesan-pesan yang disampaikan dengan cara nonverbal.
Empat katagori komunikasi non-verbal [Gazda, et al (1977), George & Cristiani (1981):
a. Perilaku Komunikasi Non-Verbal karena Waktu.
─ Apakah tepat atau terlambat berhubungan dengan kehadiran seseorang
─ Reaksi terhadap cara berkomunikasinya
b. Perilaku Komunikasi Non-Verbal Menggunakan Badan.
1. Kontak melalui mata:
¾ menatap ke suatu objek tertentu
¾ menatap ke bawah
¾ menatap terus menerus ke konselor, menatap ke konselor tetapi se-gera mengalihkan ke objek lain ketika konselor membalas menatap
¾ menatap dengan sikap melawan atau menentang
¾ pandangan yang berpindah-pindah dari satu objek ke objek lain
¾ menutup mata dengan tangan
¾ sering melihat ke sesuatu yang lain
¾ bersinar-sinar, mata terbuka lebar
¾ mengeluarkan air mata
2. Kulit:
¾ pucat, berkeringat, merah.
3. Postur:
¾ memperlihatkan kesiapan untuk melakukan sesuatu
¾ lemah, kelihatan capai
¾ menarik diri
¾ kedua tangan disilangkan seolah-olah berupaya melindungi diri
¾ menumpangkan kaki
¾ duduk menghadap ke orang lain dan memandang ke lantai.
4. Ekspresi muka:
¾ tidak berubah
¾ berkerut pada dahi, bermuka asam
¾ tersenyum, tertawa
¾ mulut sedih
¾ menggigit lidah.
5. Gerakan pada tangan dan lengan:
¾ gerakan tangan dan lengan dengan simbol tertentu.
6. Melukai atau memperlihatkan anggota badan:
¾ menggigit kuku
¾ menggaruk-garuk
¾ menarik-narik rambut
¾ mengusap-usap atau menggosok-gosok.
7. Gerakan yang diulang-ulang
¾ sering kali dinilai sebagai tanda dari adanya ketegangan dan kegelisahan, sekalipun ada kemungkinan karena sebab organik
¾ gelisah, mengetukkan kaki, menarik-narik kancing baju atau pakaian
¾ mengetukkan jam tangan
¾ gemetar
8. Tanda-tanda atau seperti perintah:
¾ menekan jari di bibir sebagai tanda untuk diam
¾ mengangkat bahu, menggelengkan kepala
¾ menggoyangkan badan
¾ mengangguk
¾ memejamkan mata.
9. Sentuhan:
¾ untuk memperoleh perhatian seperti menepuk bahu
¾ sentuhan halus atau menantang.
c. Perilaku Komunikasi Non-Verbal Melalui Nada Suara.
1. Tekanan pada suara:
¾ mendatar, monoton, tak disertai perasaan,
¾ cerah, berubah-ubah,
¾ kuat, penuh percaya diri, meyakinkan,
¾ lemah, kaget-kagetan, terpatah-patah.
2. Kecepatan dalam ucapan:
¾ cepat, sedang atau lambat.
3. Kekuatan suara:
¾ keras, sedang atau halus.
4. Cara mengucapkan kata:
¾ rapi atau ceroboh
¾ berubah-ubah atau menetap.
d. Perilaku Komunikasi Non-Verbal Melalui Lingkungan.
1. Jarak:
¾ menjauh kalau seseorang mendekat atau sebaliknya
¾ mengambil inisiatif dalam gerakan mendekat atau menjauh
¾ jarak berangsur-angsur bertambah jauh atau sebaliknya.
2. Pengaturan lingkungan fisik:
¾ rapi, teratur dan tersusun baik atau sebaliknya
¾ acak-acakan dan tidak teratur dan tidak tersusun dengan baik
¾ warna cerah atau tenang, peralatan keras atau halus, mewah atau sederhana, menarik atau tidak.
3. Pakaian:
¾ meriah atau sederhana
¾ mengikuti mode atau biasa.
4. Posisi dalam ruangan:
¾ terlindung oleh pengaturan posisi meja dan kursi dari orang lain
¾ terbuka dan berhadapan langsung dengan orang lain tanpa terhalang alat-alat
¾ mengambil posisi menyerang atau menguasai
¾ bergerak mendekat atau menjauh dari tempat orang lain berada.
5. Konselor/Terapis mampu menjaga kerahasiaan klien
Kegiatan konseling pada dasarnya bersifat pribadi dan berhubungan langsung dengan klien dengan segala macam persoalan dan nilai-nilai yang dianutnya serta harga diri dan martabatnya yang menghendaki perlakuan sesuai dengan etika dan norma yang ada.
6. Konselor sebagai individu
Bagian ini adalah ciri-ciri atau karakteristik yang harus dimiliki konselor/terapis
Umumnya konselor/terapis:
¾ Menyukai pekerjaan sebagai konselor/terapis
¾ Manusia yang bekerja sebagai terapis harus menyukai manusia
Ciri umum yang perlu dimiliki seorang konselor, ialah (National Vocational Guidance Association):
1. Menaruh minat yang mendalam terhadap orang lain dan penyabar.
2. Peka terhadap sikap dan tindakan orang lain.
3. Memiliki kehidupan emosi yang stabil dan objektif.
4. Memiliki kemampuan untuk dipereaya orang lain.
5. Menghargai fakta.
Kualitas dasar kepribadian konselor (Association for Counseling Education and Supervision) sebagai berikut:
1. Percaya kepada setiap orang.
2. Menghayati nilai-nilai kemanusiaan setiap individu
3. Peka terhadap dunia sekelilingnya.
4. Sikap keterbukaan.
5. Memahami diri sendiri.
6. Menghayati profesionalitasnya.
Atribut yang harus dimiliki oleh seorang terapis (Carl Rogers)
1. Empati (empathic understanding)
2. Kewajaran atau keadaan sebenarnya (genuineness, realness)
3. Penerimaan (acceptance) dan perhatian (care)
Ciri-ciri konselor yang efektif (diintisarikan oleh George and Christiani, 1981)
1. Keterbukaan pada diri sendiri (sekalipun tidak perlu ditunjukkan pada orang lain) dan menerima pengalaman dan dirinya sendiri.
2. Menyadari nilai-nilainya dan pendapatnya sendiri
3. Mampu membina hubungan yang hangat dan mendalam dengan orang lain.
4. Membiarkan orang lain melihat dirinya sendiri apa adanya
5. Menerima tanggungjawab pribadi dari perilakunya sendiri
6. Mampu mengembangkan tingkatan aspirasi yang realistik
Gerald Corey menyusun daftar karakteristik kepribadian sebagai konselor/terapis yang terapeutik, yang efektif ketika melakukan konseling dan terapi (Corey, 1991) adalah:
1. Memiliki identitas.
2. Menghargai diri sendiri.
3. Bisa mengenal dan menerima kekuatannya sendiri.
4. Terbuka akan perubahan.
5. Memperluas kesadaran terhadap diri sendiri dan orang lain.
6. Bersedia dan mentoleransikan keragu-raguan.
7. Mengembangkan gaya konselingnya sendiri.
8. Bisa mengalami dan memahami dunianya klien sekalipun empatinya bukan mau memiliki [non-possessive].
9. Merasa bebas dan pilihan-pilihannya berorientasi ke kehidupan.
10. Ia adalah ia sebagaimana adanya, tulus dan jujur
11. Memiliki sentuhan humor.
12. Bisa berbuat salah dan bersedia mengakui kesalahannya.
13. Pada umumnya hidup dalam waktu sekarang.
14. Menghargai pengaruh kebudayaan.
15. Mampu mencipta kembali diri sendiri.
16. Menentukan pilihan yang sesuai untuk hidupnya.
17. Memiliki minat yang tulus terhadap kesejahteraan orang lain.
18. Terlibat dan memperoleh nafkah dari pekerjaannya.
Walaupun ciri-ciri pribadi yang terapeutik tersebut nampak ideal atau tidak realistis, yang penting adalah usaha keras kita untuk mengembangkan potensi diri. Gerald Corey mengungkapkan gambaran itu dengan harapan terapis-terapis pemula atau calon terapis akan mengkajinya dan mengembangkan konsep sendiri tentang ciri-ciri kepribadian yang Anda anggap esensial untuk dimiliki agar Anda mampu menunjang pertumbuhan pribadi.
Para peneliti telah mengenali banyak ciri lain dari terapis yang efektif, di antaranya adalah minat yang besar terhadap orang lain, kepekaan terhadap sikap-sikap dan reaksi-reaksi orang lain, stabilitas emosi dan objektivitas, kesanggupan untuk dipercaya oleh orang lain, rasa humor, berpikiran luas dan toleran terhadap keyakinan-keyakinan dan gaya-gaya hidup yang berbeda, kecerdasan dan kecakapan melihat, respek terhadap orang lain, pengetahuan tentang tingkah laku manusia, dan minat yang berkesinambungan untuk belajar.
Oleh karena itu, tampaknya esensial bahwa para konselor dan terapis memeriksa secara mendalam nilai-nilai, sikap-sikap, dan keyakinan-keyakinan mereka sendiri dan bahwa mereka bekerja ke arah meningkatkan kesadaran mereka sendiri, karena karakter atau kepribadian terapis memaikan peran yang menentukan dalam terjadinya perubahan yang signifikan pada diri para kliennya.
VIII. FILSAFAT dan KONSEP UTAMA
¾ Tidak ada suatu filsafat bersama yang mempersatukan semua pendekatan psiko-terapi
¾ Pandangan-pandangan kita tentang sifat manusia dan asumsi-asumsi dasar kita tentang proses terapeutik memiliki implikasi yang berarti bagi pengembangan praktek-praktek terapeutik yang kita jalankan.
¾ Metode dan teknik konseling dan terapi berlandaskan pada pendekatan atau teori psikologi yang digunakan. Pandangan terhadap manusia menentukan bentuk konseling dan terapi yang dijalankan.
¾ Perbedaan tampak jelas di antara asumsi-asumsi filosofis yang melandasi tiga pendekatan utama yang berbeda:
1. pendekatan psikoanalitik,
2. pendekatan behavioral, dan
3. pendekatan eksistensial humanistik.
1. Pendekatan Psikoanalisis
Manusia pada dasarnya ditentukan oleh energi psikis, berupa motif-motif dan konflik-konflik tak sadar, kekuatan-kekuatan irasional yang kuat; orang didorong oleh dorongan-dorongan seksual dan agresivitas, dan pengalaman masa kanak-kanak dini, dan pencarian keseimbangan homeostatik melalui keseimbangan struktur psikis.
Motif-motif dan konflik-konflik tak sadar adalah sentral dalam tingkah laku sekarang. Perkembangan dini penting karena masalah-masalah kepribadian berakar pada konflik-konflik masa kanak-kanak yang ditekan ketika kecil.
Pandangannya deterministik, manusia adalah ”homo volens”:
§ Sigmund Freud dengan ''primitive drives"
§ Alfred Adler dengan "will to power"
§ Carl Gustav Jung dengan "collective unconsciousness";
§ Karen Horney dengan "basic anxiety"
Teori Psikoanalisa Klasik
Asumsi utama paradigma psikoanalisis atau psikodinamika, adalah bahwa psikopatologi diakibatkan oleh konflik-konflik yang tidak disadari dalam diri individu.
Teori Psikoanalisis klasik mengacu pada berbagai pandangan awal yang dikemukakan Sigmund Freud (1856-1939). Teori yang dikemukakannya mencakup struktur kepribadian (fikiran, mind, psyche, jiwa), dan perkembangan serta dinamika kepribadian.
- Struktur kepribadian terdiri atas id, ego dan super-ego
- Perkembangan kepribadian terjadi melalui 4 tahap psikoseksual yang berbeda, mengacu pada bagian tubuh paling sensitif terhadap kenikmatan seksual sehingga paling mampu memberikan kepuasan libido bagi id, yaitu tahap-tahap oral, anal, phallic, latent, dan genital.
- Dinamika kepribadian adalah perilaku yang terjadi akibat saling keterkaiatan yang rumit antara id, ego, super ego yang kesemuanya berupaya mencapai tujuan yang tidak selalu bisa dipersatukan.
Kecemasan Neurotik (anxiety neurotic).
Kecemasan objektif (objective anxiety) atau kecemasan realistik merupakan reaksi ego terhadap bahaya di dunia luar.
Kecemasan neurotic merupakan reaksi yang (rasa takut) yang tidak realistis, akibat dari kepribadian yang tidak berkembang sepenuhnya, mungkin karena terfiksasi pada satu atau tahap lainnya; Ketidaksadaran atas konflik yang dialami menjadi inti kecemasan neurotik,
· Anak laki-laki yang takut pada tempat terbuka sesungguhnya takut mengekspresikan hasratnya terhadap seks dan keintiman, suatu hasrat yang mungkin dicela atau dicegah di masa kecilnya.
· Gadis yang takut pada kotoran dan secara obsesif membersihkannya sesungguhnya takut pada ketertarikannya di masa kecil terhadap tinjanya yang berserakan, mungkin diakibatkan oleh orang tuanya yang sangat ketat dan tidak suka atau jijik ketika dia melakukan toilet training. Atau perilaku agresif diubah melalui formasi reaksi menjadi tindakan kompulsif terhadap kebersihan.
· Fobia (ketakutan irasional), dan penghindaran terhadap objek atau situasi yang tidak berbahaya, disebabkan oleh konflik oedipal yang tidak teratasi, dengan ketakutan pada ayah dialihkan ke objek atau situasi lain.
Mekanisme pertahanan diri (defence mechanisms).
Kecemasan neurotik dapat diatasi dengan distorsi realitas secara bawah sadar melalui mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan (defense mechanism) merupakan suatu strategi yang digunakan tanpa disadari untuk melindungi ego dari kecemasan.
1. Repressi. Mungkin mekanisme pertahanan yang terpenting adalah represi, yang menekan impuls-impuls dan pemikiran-pemikiran yang tidak dapat diterima ego ke alam bawah sadar. Represi tidak hanya mencegah impuls dan pemikiran tersebut memasuki alam sadar, namun juga tetap mengubur segala hasrat. Karena tetap ditekan, ingatan-ingatan di masa kecil tersebut tidak dapat dikoreksi oleh pengalaman di masa dewasa sehingga intensitasnya tidak berkurang.
2. Pengingkaran (denial) adalah mekanisme pertahanan lain yang penting; yaitu mengingkari pengalaman-pengalaman negatif seperti diperkosa dan menekannya ke alam bawah sadar.
3. Proyeksi merujuk pada karakteristik objek atau hasrat eksternal yang dimiliki individu, namun tidak dapat diterima oleh kesadaran. Sebagai contoh, seorang wanita yang hostile mungkin secara tidak sadar enggan mengakui dirinya marah pada orang lain dan memproyeksikan rasa marahnya kepada mereka; sehingga dia melihat orang lain marah kepadanya.
4. Displacement. Mekanisme pertahanan lainnya adalah displacment, mengarahkan respons-respons emosional dari objek yang mungkin berbahaya ke suatu objek pengganti, sebagai contoh, berteriak pada pasangannya sebagai pengganti marah pada bosnya;
5. Formasi reaksi, (reaction formation) mengubah apa yang dirasakan, seperti kebencian menjadi perasaan yang berlawanan, misalnya cinta;
6. Regresi, (regression) kembali ke pola perilaku di usia yang lebih muda;
7. Rasionalisasi (rasionalization), menciptakan alasan untuk tindakan atau sikap yang tidak dapat dinalar;
8. Sublimasi (satimation), mengubah impuls-impuls seksual atau agresif menjadi perilaku sosial, terutama aktivitas kreatif.
Mekanisme Pertahanan | Definisi | Contoh |
Repression | Menjauhkan impuls atau harapan yang dapat diterima dari kesadaran | Siswa yang lupa ada tugas makalah yang suilit. Pasien terapi lupa tentang janji pertemu-an ketika material yang membangkitkan kecemasan akan dibahas |
Denial (penyangkalan) | Menjauhkan kejadian-kejadian negatif dari kesadaran | Seseorang yang mengalami incest di masa kecilnya tidak dapat mengingat kejadian tersebut ketika dewasa |
Projection | Menimpakan pikiran atau perasaan-nya sendiri kepada orang lain | Seseorang yang membenci kelompok ras tertentu percaya bahwa merekalah yang tidak menyukainya |
Displacement | Mengalihkan perasaan dari sasaran sebenarnya ke orang lain | Seorang anak yang marah kepada sau-daranya namun kemudian mengalihkan kemarahannya kepada temannya |
Reaction Formation | Harapan atau impuls yang tidak dapat diterima diubah menjadi sebaliknya | Seseorang yang memiliki hasrat seksual kepada anak-anak- memimpin kampanye menentang penyiksaan seksual terhadap anak-anak |
Regressi | Bentuk perilaku yang merupakan karakteristik tahapan perlembangan lebih awal | Seorang dewasa menjadi sangat tergantung pada orangtuanya setelah perkawinannya hancur |
Mekanisme Pertahanan | Definisi | Contoh |
Rationalization | Memberikan penjelasan yang dapat diterima secara sosial yang bukan merupakan alasan sebenarnya dari perilakunya | Orang tua yang berteriak dengan marah dan tidak sabar kepada anaknya, kemu-dian mengatakan bahwa dia melakukan-nya untuk "membangun karakter si anak." |
Sublimation | Impuls agresif atau seksual diubah menjadi perilaku pro-sosial | Seseorang yang memiliki perasaan agresif terhadap ayahnya kemudian menjadi seorang ahli bedah. |
Bagaimanapun, kontribusi Freud tetap luar biasa dan tetap berdampak penting dalam bidang psikologi. Pengaruh Freud paling jelas terlihat dalam empat asumsi yang diterima secara umum di bawah ini.
1. Pengalaman-pengalaman masa kecil membentuk kepribadian di masa dewasa.
Walaupun mengakui peran genetik, para ahli klinis dan peneliti kontemporer masih menganggap pengalaman-pengalaman mas a kecil sebagai hal penting. Mereka jarang memfokuskan pada tahap-tahap psikoseksual yang ditulis Freud, namun secara umum menekankan hubungan orang tua-anak yang bermasalah dan bagaimana hal itu dapat secara negatif memengaruhi hubungan di masa dewasa kelak.
2. Ada pengaruh ketidaksadaran dalam perilaku.
Orang-orang dapat tidak menyadari penyebab perilaku mereka, yang sebagian besar juga disebabkan oleh memori di bawah sadar. Namun demikian, sebagian besar peneliti dewasa ini tidak berpikir tentang ketidaksadaran atau tidak menganggapnya sebagai tempat penyimpanan insting-insting id.
3. Orang menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengontrol kecemasan atau stres.
Terdapat penelitian tentang menghadapi stress yang tidak disadari (bahkan direpressi) apakah benar-benar memainkan peran penting dalam mengendalikan kecemasan
4. Penyebab dan maksud perilaku manusia tidak selalu tampak jelas.
Freud dan para pengikutnya membuat para ahli klinis dan psikopatolog dari berbagai generasi peka terhadap penyebab dan maksud perilaku manusia yang tidak tampak jelas. Psikoanalisis memberi peringatan kepada kita agar tidak menerima segala sesuatu berdasarkan apa yang terlihat.
Sigmund Freud merupakan figur penting yang membuat orang mempertimbangkan penjelasan nonbiologis bagi gangguan perilaku, dan gambarannya tentang perilaku abnormal sering kali sangat penuh pemahaman.
2. Pendekatan Behavioristik
Manusia dibentuk dan dikondisikan oleh pengkondisian sosial-budaya. Tingkahlaku dipandang sebagai hasil dari belajar dan pengkondisian oleh faktor-faktor eksternal. Manusia adalah hasil dan sekaligus pencipta dari lingkungan.
Memandang manusia sebagai "homo mechanicus", seperti
─ Ivan Petrovich Pavlov yang terkenal dengan "classical conditioning"
─ John Broadus Watson dengan "extreme environmentalism"
─ Edward Lee Thorndike dengan "law of effect"
─ Burrhus Friedrich Skinner dengan "operant conditioning"
─ Albert Bandura dengan "social learning dan model behavior"
Behaviorisme dapat didefinisikan sebagai suatu pendekatan yang berfokus pada studi terhadap perilaku yang dapat diamati, dan bukan pada kesadaran. Tiga tipe pembelajaran: Classical Conditioning, Operant Conditioning, dan Modelling.
1. Classical Conditioning
Classical conditioning ditemukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936) pada peralihan abad ke-20.
Situasi awal. Sebelum pembelajaran. | Bunyi bel (CS) <netral> ¾® tidak ada air liur Bubuk daging (UCS) ¾® air liur (UCR) |
Proses kondisioning. Pembelajaran. | |
Conditioning terjadi. | Bunyi bel (CS) ¾® air liur (CR) |
Penghapusan (extinction) merujuk pada apa yang terjadi pada CR ketika suara lonceng yang berulang selanjutnya tidak diikuti dengan pemberian bubuk daging, pengeluaran air liur semakin sedikit, dan secara bertahap CR akhirnya menghilang.
Clasical Conditioning yang menimbulkan ketakutan patologis
Sebuah eksperimen yang dipertanyakan dari sudut etika, dilakukan oleh John Watson dan Rosalie Rayner (1920).
· Seekor tikus putih diberikan kepada anak laki-laki berusia 11 bulan. Si keeil Albert tidak menunjukkan rasa takut terhadap hewan dan terlihat ingin bermain dengan tikus tersebut.
· Setiap si anak mengulurkan tangannya ke tikus tersebut, si pelaku eksperimen membuat suara bising (UCS) dengan memukul sebuah tongkat baja di belakang kepala Albert, yang membuat Albert sangat ketakutan (UCR).
· Setelah lima kali mengalami hal tersebut Albert menjadi sangat ketakutan (CR) bila melihat si tikus putih, bahkan bila tongkat baja tersebut tidak dibunyikan.
Ketakutan yang pada awalnya berhubungan dengan suara keras telah ditimbulkan oleh stimulus yang sebelumnya netral, yaitu tikus putih (sekarang menjadi CS).
Studi ini menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara classical conditioning dan perkembangan gangguan emosional tertentu, dalam kasus ini fobia.
2. Operant Conditioning.
The Law of effect (Edward Thorndike, 1874-1949)
Eksperimen Edward Thorndike (1874-1949), meneliti konsekuensi perilaku (efek konsekuensi terhadap perilaku), dan bukan meneliti stimulus–respons seperti Pavlov.
· kucing-kucing yang dikurung dalam kurungan berpintu berusaha melarikan diri
· dalam usaha keluar dari kurungan, kucing secara tidak sengaja menghantam kunci pengait yang membuat mereka bebas
· setelah berulang kali dikurung, pada akhirnya mereka langsung menyentuh kunci pengait dengan maksud membebaskan diri.
Perilaku yang diikuti konsekuensi yang memuaskan bagi organisme akan diulang, dan perilaku yang diikuti konsekuensi yang membahayakan atau tidak menyenangkan tidak akan diulang.
Perilaku atau respons yang memiliki konsekuensi berfungsi sebagai suatu instrumen, yang mendorong atau tidak mendorong pengulangannya, karena itu disebut Instrumental Learning .
Operant Conditioning (B. F. Skinner 1904-1990)
Skinner memperkenalkan konsep operant conditioning, disebut demikian karena diterapkan bagi perilaku yang dilakukan dalam lingkungan.
Dalam suatu eksperimen pertama mengenai operant-conditioning,
· seekor tikus lapar ditempatkan di kotak, disebut kotak Skinner, yang di salah satu tepinya terdapat tombol
· tikus tersebut menjelajahi lingkungan barunya dan secara tidak sengaja mendekati tombol tersebut
· sepotong makanan dijatuhkan ke dalam wadah yang diletakkan di dekat tombol.
· setelah beberapa kali makanan dijatuhkan, tikus semakin sering berada di sekitar tombol.
· sekarang pelaku eksperimen hanya menjatuhkan makanan ke dalam wadah bila si tikus secara tidak sengaja menyentuh tombol.
· setelah beberapa kali mendapatkan keuntungan dengan tanpa sengaja menyentuh tombol, tikus tersebut mulai ”dengan sengaja” menyentuh tombol berulang kali.
· setelah penyentuhan tombol berjalan dengan baik, pelaku eksperimen dapat membuat kriteria penghargaan yang lebih ketat, yaitu tikus harus benar-benar menekan tombol baru kemudian diberi makanan.
· Dengan demikian, perilaku operant yang dikehendaki, yaitu menekan tombol, secara bertahap diperoleh melalui pembentukan (shaping), yaitu dengan memberikan penghargaan bagi serangkaian respons, yang disebut pendekatan suksesif (successive approximations), yang semakin lama semakin sesuai dengan respons yang dikehendaki.
· Frekuensi penekanan tombol meningkat segera setelah hal tersebut menjadi kriteria pemberian makanan dan berkurang, atau hilang, bila makanan tidak dijatuhkan lagi ke dalam wadah setelah tombol ditekan.
Rasa lapar (S netral) Ã berkeliaran mencari makan (UCR)
Rasa lapar (S netral) Ã mendekati tombol (UCR)
konsekuensi (1-n) = makanan (reward)
Rasa lapar (CS) Ã mendekati tombol (CR 1)
Rasa lapar (S netral) Ã mendekati tombol (UCR)
konsekuensi (1-n) = tidak ada makanan
Rasa lapar (CS) Ã menekan tombol
konsekuensi (1-n) = makanan
Rasa lapar (CS) Ã menekan tombol (CR 2)
Skinner menyusun ulang hukum efek dengan mengubah fokus dari hubungan stimuli-respons (S-R) ke hubungan respons dan konsekuensi atau kemungkin-annya. Eksperimen ini tidak banyak berbeda dengan Pavlov atau Thorndike, namun mencerminkan argumen Skinner bahwa stimuli tidaklah sangat terkait dengan respons ketika stimuli menjadi penyebab munculnya respons, jika di masa lalu respons tersebut telah dikuatkan.
Stimulus diskriminatif (discriminative stimulus) untuk merujuk berbagai kejadian di luar diri yang memberi pesan pada organisme bahwa jika ia melakukan suatu perilaku, maka akan diikuti suatu konsekuensi tertentu.
Istilah "hukum efek" dari Thorndike diubah menjadi "prinsip penguatan (principle of reinforcement) oleh Skinner.
Implikasi Skinner:
· bahwa masyarakat ideal diatur oleh prinsip-prinsip penguatan
· bahwa kebebasan memilih adalah mitos dan semua perilaku ditentukan oleh berbagai penguat yang terdapat di lingkungan.
· dengan menganalisis perilaku dalam hal ini respons-respons dan penguat yang dapat diamati, kita akan mampu menentukan kapan perilaku tertentu akan muncul (membantu mengindikasikan bagaimana suatu perilaku dimiliki, dipertahankan, diubah, dan dihilangkan).
Skinner percaya bahwa psikologi harus membatasi perhatiannya hanya pada stimuli dan respons yang dapat diamati secara langsung dan pada efek penguatan. Menganjurkan agar dunia psikologi menghindari perantara seperti eksistensi, kondisi fikiran (mind), atau motivasi dalam upaya mengembangkan ilmu psikologi.
3. Modeling
Modelling adalah proses pembelajaran dengan melihat dan meniru orang lain tanpa penguat di dalamnya. Modelling dapat meningkatkan atau mengurangi berbagai macam perilaku, seperti berbagi, agresi, atau ketakutan.
Bandura dan Menlove (1968); mengurangi ketakutan terhadap anjing pada anak-anak.
· anak takut pada anjing
· anak menyaksikan model yang tanpa takut melakukan berbagai aktivitas dengan seekor anjing
· anak yang pada awalnya takut sekarang menunjukkan kemauan untuk mendekati dan memegang seekor anjing.
Modeling menjelaskan terjadinya perilaku abnormal. Anak-anak dari orang tua yang mengalami fobia atau memiliki masalah penyalahgunaan zat dapat memiliki pola perilaku yang sama, sebagian diperoleh melalui pengamatan.
3. Pendekatan Eksistensial-Humanistik
Memandang manusia memiliki kesadaran dan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan fundamental yang membentuk kehidupannya. Kesediaan memilih, dan memutuskan adalah suatu sentral dalam terapi.
Berfokus pada sifat dari kondisi manusia yang mencakup kesanggupan untuk:
¾ menyadari diri sendiri, bebas memilih untuk menentukan nasib sendiri, menjalani kebebasan dan tanggung jawabnya (perhatian lebih banyak pada pribadi manusia daripada terhadap sistem yang formal)
¾ merasakan kecemasan sebagai suatu unsur dasar;
¾ mencari makna yang unik di dalam dunia yang tak bermakna (sesuatu yang paling bermakna dalam diri seseorang adalah eksistensi dirinya)
¾ berada sendirian dan berada dalam hubungan dengan orang lain (konsep identitas menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan dalam kehidupan manusia);
¾ menggapai keterhinggaan dan kematian; dan
¾ aktif mengaktualisasikan diri.
Manusia dipandang sebagai "homo ludens", sebagai pelaku aktif dan punya kemampuan yang perlu digali, seperti:
§ Ludwig Binswanger yang terkenal dengan "being-in-the-world"
§ Carl Ransom Rogers dengan "client-centered approach"
Eksistensialistik menekan pada:
¾ peningkatan kesadaran individu terhadap motivasi dan kebutuhan
¾ kehendak bebas sebagai karakteristik terpenting manusia
Namun kehendak bebas ibarat pedang bermata dua, karena tidak hanya memberikan pemenuhan dan kenikmatan, namun juga memberikan ancaman rasa sakit dan penderitaan.
Humanistik dari Carl Rogers melihat bahwa manusia memiliki pengalaman-pengalaman yang merupakan realitas subyektif yang hanya bisa diamati oleh subyek yang mengalami. Orang lain hanya mungkin mengetahui melalui kesmpulan atas dasar empati.
Karena itu pendekatan Eksistensial-Humanistik juga disebut eksperiensial atau fenomenologis.
TEORI KEPRIBADIAN CARL ROGERS
Teori kepribadian ini disebut ”Self Theory” yaitu mencakup dua unsur utama yang bisa dianggap sebagai dasar kepribadian yaitu organisme dan diri (self). Namun teori Carl Rogers lebih merupakan teori tentang terapi dari pada teori tentang kepribadian.
Organisme
Organisma merupakan wadah dari semua pengalaman yang dialami, terjadi setiap saat dan secara potensial dapat disadari.
Keseluruhan pengalaman membentuk lapangan fenomena, yang merupakan kerangka acuan yang hanya bisa diamati oleh subyek yang mengalami. Orang lain hanya mungkin mengetahui melalui kesimpulan atas dasar empati.
Tingkah laku seseorang tergantung pada lapangan fenomena yang merupakan realitas subyektif dan merupakan cara bagaimana seseorang mengamati dunianya, yang tidak hanya tergantung dari rangsang eksternal atau realitas di luar dirinya.
Diri (Self)
Sebagian dari lapangan fenomena berdiferensiasi menjadi Diri (Self), atau Konsep Diri (Self Concept), terdiri dari persepsi tentang ciri-ciri aku dan diriku, serta persepsi hubungan aku dan orang lain, dan dengan asepek-aspek hidup serta nilai-nilai yang berkaitan dengannya.
Keselarasan - ketidakselarasan
Carl Rogers selalu menekankan keselarasan antara pengalaman organisme dengan konsep diri. Artinya banyak pengalaman-pengalaman atau hal-hal yang dialami dan yang terjadi pada diri seseorang sepenuhnya dapat diterima oleh orang itu sebagai bagian dari dirinya sendiri. Atau tidak terdapat perbedaan yang besar antara ”apa yang dialami” dengan ”konsep diri”. Keadaan selaras antara ”organisme” dan ”diri” lebih mungkin tercapai dalam suatu lingkungan dimana terdapat penghargaan terhadap potensi-potensi individu, yang oleh Rogers disebut lingkungan yang memberikan penghargaan positif (unconditional positive regards).
Organisme dan Diri dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, terutama oleh cara-cara dimana seseorang dinilai oleh orang lain.
· Anak mempunyai konsep diri sebagai ’anak yang baik’, yang dicintai orangtuanya.
· Anak menyukai adiknya yang lucu dan ia suka bermain dengan adiknya.
· Sewaktu ia mencubit-cubit adiknya, ia dimarahi dan dipukul oleh orangtuanya. Ia sekarang merasa sebagai anak nakal, dan terbentuk konsep diri, ”saya anak nakal”, ”ibu tidak mecintai saya”, ”saya benci menganggu adik saya”.
· Anak menolak perasaan yang sesungguhnya, karena sebetulnya ”saya sayang adik saya, saya senang mengganggu adik saya”.
· Anak mengganti perasaan dan nilai yang sesungguhnya menjadi nilai yang palsu.
· Perasaan dan nilai yang sesunguhnya tetap ada dan mempengaruhi perilaku si anak.
· Timbul konflik antara nilai-nilai yang diintroyeksikan, yang palsu dan disadari, dengan nilai-nilai yang sesungguhnya, yang mungkin tidak disadari.
Jika makin makin nilai-nilai sebenarnya dari seseorang diganti oleh nilai-nilai yang dipinjam dari orang lain (yang sudah dipersepsi sebagai nilainya sendiri), maka perasaan dan nilai-nilai yang melekat pada dirinya akan saling bertentangan. Seseorang itu akan merasa tegang, tidak puas dan sulit dalam penyesuaian diri. Bila hal itu berlangsung terus, semakin lama konsep dirinya menyimpang ke arah penilaian orang lain. Akibatnya pengalaman ’organisme’ itu dirasakan sebagai ancaman dan menimbulkan kecemasan.
Untuk melindungi integritas diri (organisme) dan konsep diri (self) tersebut, pengalaman yang mengancam tersebut ditolak, disimbolisasikan, atau disimbolisasikan secara keliru.
Daerah I; lapangan fenomena sesuai dengan konsep dirinya.
Daerah II; sebagian dari lapangan fenomena telah mengalami penyimpangan (distortion) dalam mensimbolisasikannya
Daerah III; menunjukkan pengingkaran terhadap pengalaman, karena yang dialami tidak konsisten dengan struktur diri
Dalam hubungan dengan lingkungan sosialnya, seseorang memiliki 2 mekanisme pertahan diri, yaitu:
1. Pengingkaran (denial)
2. Penyimpangan persepsi (perceptual distortion),
agar hal-hal yang tidak menyenangkan didorong ke alam tak sadar sehingga tidak menimbulkan tekanan.
Penyimpangan persepsi terjadi apabila pengalaman yang tidak selaras dibiarkan tetap ada dalam kesadaran akan tetapi dalam bentuk yang konsisten dengan gam-baran diri pribadi.
Misal, mahasiswa berkonsep diri pandai, tetapi medapat nilai buruk. Ia memper-tahankan keutuhan konsep dirinya dengan jalan mensimbolisasikan konsep-konsep:
Secara benar: ”Walaupun saya pandai, kalau tidak belajar saya akan mendapat nilai buruk”
Secara menyimpang: ”Dosen pilih kasih dalam memberikan nilai”
”Saya sedang bernasib sial”
Pengingkaran adalah suatu respon mempertahankan diri untuk melindungi integritas struktur ’diri’ dengan menghindari pengalaman mengancam karena individu menolak pengalaman yang tidak konsisten dengan dirinya.
Pada kondisi ini, keselarasan tidak tercapai. Ketidakselarasan (incongruence) menyebabkan rasa terancam, khawatir, bertingkahlakuh defensif, berfikiran sem-pit dan kaku, dan mempengaruhi hubungan dengan orang lain.
”Diri” sebagaimana dipersepsikan dengan ”pengalaman organisme” terjadi keselarasan bila pengalaman-pengalaman yang sudah disimbolisasikan dan membentuk diri, benar-benar mencerminkan pengalaman organismenya.
Menjadi ”manusia berfungsi penuh”
Terjadi bila keselarasan sempurna telah tercapai.Berarti ia dapat mengunakan kemampuan dan bakatnya, menyadari potensi yang dimilikinya, dan melangkah maju karena ia telah menjadi manusia yang mengenal dirinya.
Tiga pendekatan, teori, paradigma, mazab, aliran psikologi di atas menjadi pegangan atau pengembangan dari berbagai metode dan teknik terapi. Terlepas dari begitu banyaknya metode dan teknik baru dalam dunia psikoterapi, namun metode dan teknik yang tetap besar hanya meliputi:
· Terapi Psikoanalisis
· Terapi Behavioristik
· Terapi Eksistensial Humanistik
· Terapi Client-Centered dari Carl Rogers
· Terapi Gestalt
· Terapi Transaksional Analisis
· Terapi Rasional-Emotif
· Terapi Realitas
IX. TERAPI PSIKOANALISIS
Perkembangan kepribadian yang normal berlandaskan resolusi dan integrasi fase-fase perkembangan psikoseksual yang berhasil. Perkembangan kepribadian yang gagal merupakan akibat dari resolusi sejumlah fase perkembangan psikoseksual yang tidak memadai. Id, ego, dan superego membentuk dasar bagi struktur kepribadian. Kecemasan adalah akibat represi konflik-konflik dasar. Mekanisme-mekanisme pertahaan ego dikembangkan untuk mengendalikan kecemasan. Proses-proses tak sadar berkaitan erat dengan tingkah laku yang muncul sekarang.
Tujuan terapi: · Membuat hal-hal yang tidak disadari menjadi disadari.
· Merekonstruksi kepribadian dasar.
· Membantu klien dalam menghidupkan kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak dini dengan menembus konflik-konflik yang direpresi.
Dalam praktek Psikoanalis:
¾ terapis berperan impersonal dan anonim
¾ terapis berperan sebagai ahli mendiagnosis
¾ terapis merumuskan sejarah klien
¾ terapis menentukan rencana treatment
¾ terapis menggunakan teknik-teknik penafsiran agar secara perlahan menyingkap isi masalah yang tak disadari.
¾ pemahaman dan pengertian atas masa lampau yang dicapai melalui penafsiran yang cerdik.
¾ terapi jangka panjang yang diarahkan pada pengubahan kepribadian.
¾ bagaimanapun, psikoanalisis memandang klien berkemampuan untuk berubah dan untuk membentuk ulang masa depannya, melalui:
· kemunculan hal-hal yang tak disadari menjadi disadari, dan
· pemahaman terhadap penyebab-penyebab gangguan-gangguan emosional.
· kemudian merancang ulang keniscayaan-keniscayaan eksternal.
Teknik-Teknik Terapi Psikoanalitik
Teknik-teknik utama adalah penafsiran, analisis mimpi, asosiasi be bas, analisis resistensi, dan analisis transferensi. Kesemua teknik tersebut dirancang untuk membantu klien memperoleh jalan masuk ke dalam konflik-konflik tak sadar yang mengarah pada pemahaman dan asimilasi material baru oleh ego. Diagnosis dan pengetesan sering digunakan. Pertanyaan-pertanyaan digunakan untuk mengembangkan suatu kasus sejarah.
Teknik-teknik utama dalam psikoanalisis
Teknik | Deskripsi |
Asosiasi bebas | Pasien mencoba mengatakan apa pun yang muncul dalam pikirannya tanpa menyensornya. |
Analisis mimpi | Berdasarkan asumsi bahwa pertahanan diri melemah dalam keadaan tidur, makna simbolik isi mimpi memberikan petunjuk mengenai konflik yang ditekan. |
Interpretasi (Penafsiran) | Analis menunjukkan kepada pasien makna sebenarnya beberapa perilakunya |
Analisis Transferensi (Analysis of transference) | Dengan tetap menjadi figur yang tidak jelas, analis mendorong pasien memberikan respons kepadanya seperti cara pasien merespons orang-orang yang penting dalam hidupnya, terutama orang tuanya |
Asosiasi bebas.
Suatu teknik untuk mengangkat represi. Pasien bersandar di sofa, tanpa menghadap ke arah analis, dan didorong untuk membebaskan pemikiran-pemikirannya, mengungkapkan dalam kata-kata apa pun yang terbersit dalam pikiran tanpa menyensornya sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari. Diasumsikan bahwa pasien dapat mempelajari keterampilan ini secara bertahap dan pertahanan-pertahanan yang terbentuk selama bertahun-tahun akhirnya dapat diruntuhkan.
Namun, hambatan-hambatan dalam asosiasi bebas sering kali muncul; pasien dapat terdiam secara mendadak atau mengganti topik. Resistensi tersebut dicatat dengan hati-hati oleh analis karena diasumsikan merupakan sinyal wilayah yang sensitif atau mengancam ego. Wilayah sensitif tersebut adalah sesuatu yang akan digali lebih jauh oleh analis.
Analisis mimpi
Teori Psikoanalisis beranggapan bahwa dalam tidur, pertahanan-pertahanan ego melemah, memberi kesempatan kepada berbagai hal yang dalam kondisi normal ditekan untuk memasuki kesadaran orang yang tidur. Karena hal-hal tersebut bersifat sangat mengancam, biasanya mereka tidak memasuki kesadaran dalam wujud yang sebenarnya; namun disamarkan sehingga mimpi berlangsung dengan isi yang sangat simbolik. Sebagai contoh, seorang wanita yang khawatir terhadap pendekatan seksual agresif para pria dapat bermimpi diserang oleh orang-orang liar yang melemparkan tombak padanya, tombak dianggap sebagai simbol phallic, menggantikan pendekatan seksual eksplisit.
Analisis transferensi.
Transferensi mengacu pada respons-respons pasien kepada analis yang tidak berkaitan dengan hubungan analis-pasien, namun lebih merupakan refleksi berbagai sikap dan cara berperilaku terhadap orang-orang yang penting bagi pasien di masa lalunya. Bisa juga terjadi pasien mungkin merasa bahwa analis merasa bosan dengan apa yang disampaikannya sehingga pasien berusaha memberikan sesuatu yang menghibur.
Analis mendorong terjadinya transferensi dengan secara sengaja tetap menjadi figur yang tidak tampak jelas, duduk di belakang pasien dan mengungkapkan sedikit kehidupan atau perasaan pribadinya selama sesi berlangsung.
Melalui pengamatan dan analisis yang hati-hati terhadap sikap-sikap yang ditransfer tersebut, analis dapat mengetahui berbagai konflik masa kecil yang ditekan. Pada saat itulah tepatnya analis mencermati perkembangan transferensi yang mereka ciptakan dengan harapan bahwa konflik penting yang selama ini ditekan telah semakin dekat ke permukaan. Dalam contoh di sini, analis dapat menemukan bahwa pasien dipicu untuk merasa dirinya membosankan dan tidak penting di masa kecilnya dan hanya dapat memperoleh perhatian yang sangat diinginkannya dari orang tuanya dengan cara melucu.
Cuplikan dari suatu sesi pesikoanalisis; sebuat ilustrasi Transferensi
Pasien: (Seorang pria eksekutif bisnis berusia 50 tahun): “Saya benar-benar merasa tidak ingin bicara hari ini”.
Analis: (Tetap diam selama beberapa menit, kemudian) “Mungkin Anda ingin menyampaikan mengapa Anda merasa tidak ingin bicara?”
Pasien: “Anda mulai lagi, menuntut saya, memaksa saya melakukan sesuatu yang tidak ingin saya lakukan”. (Diam sesaat)
“Apakah saya harus selalu bicara di sini, pada saat saya tidak ingin?” (Nada suaranya naik dan marah)
“Bisakah Anda pergi dari belakang saya? Anda tidak peduli dengan perasaan saya, bukan?”
Analis: “Mengapa Anda merasa saya tidak peduli?”
Pasien: “Karena Anda selalu memaksa saya untuk melakukan sesuatu yang saya rasa tidak bisa”
Cuplikan di atas harus dipahami dalam konteksnya. Pasien tersebut telah menjalani terapi selama sekitar satu tahun, dengan keluhan depresi dan kecemasan. Walaupun sangat sukses di mata keluarga dan rekan- rekannya, dia merasa lemah dan tidak kompeten. Melalui banyak sesi asosiasi bebas dan analisis mimpi, analis mulai rnenduga bahwa perasaan gagal yang dirasakan pasien berakar dari pengalarnan-pengalarnan di rnasa kecilnya bersarna ayah yang sangat keras dan suka mengkritik, yang jauh lebih sukses dari si klien, yang tarnpaknya tidak pernah puas dengan apa pun yang diupayakan anaknya.
Pernbicaraan yang dikutip di sini pada akhirnya diinterpretasikan oleh analis sebagai
¾ Ekspresi kemarahan pasien terhadap tekanan sang ayah terhadapnya.
¾ Nada suara pasien (marah), seperti halnya reaksinya yang berlebihan terhadap saran lembut dari analis untuk menceritakan rnengapa dia tidak ingin berbicara, mengindikasikan bahwa pasien sebenarnya bukan rnarah kepada analis, tetapi kepada ayahnya.
Terapis menilai ekspresi perasaan semacam itu-yaitu, pasien rnengalihkan perasaan terhadap ayahnya kepada analis-sebagai hal penting, dan rnenggunakannya dalarn sesi-sesi selanjutnya untuk rnernbantu pasien rnengevaluasi ulang ketakutan-ketakutan di masa kecilnya untuk rnengeeewakan ayahnya dan mengekspresikan kemarahan kepadanya.
Counter-transference
Mengacu pada perasaan analis kepada pasien. Para analis harus menyadari kebutuhan dan perasaan mereka sendiri sehingga dapat menilai pasien dengan jernih, tanpa distorsi. Untuk alasan ini, suatu analisis training, di mana dilakukan psikoanalisis kepada peserta training, umumnya menjadi bagian training psikoanalisis. Tantangan yang dihasilkan oleh countertransference digambarkan berikut ini dalam pembahasan terapi para pasien depresi.
Para pasien depresi membawa ketidakberdayaan dan keputusasaan mereka dalam terapi, dan terapis dapat terpengaruh. Jika perbaikan yang dialami sangat lambat, atau tidak ada sama sekali, terapis dapat merasa bersalah, marah, dan atau tidak berdaya. Setelah bertemu beberapa pasien depresi dalam sehari, terapis dapat merasa cukup terkuras dan akhimya enggan menangani pasien yang sama lebih lanjut. Pasien yang bunuh diri dapat mengakibatkan countertransference yang berat. Jacobson & McKinney, 1982, hlm. 215).
Ketika hal-hal yang sebelumnya ditekan mulai terungkap dalam terapi, interpretasi mulai berperan. Dalam teknik ini, analis menunjukkan kepada pasien makna beberapa perilaku tertentu.
Interpretasi
Fokus utama interpretasi adalah mekanisme pertahanan, yang seperti telah kita bahas, merupakan alat bawah sadar ego untuk menghindari konfrontasi dengan kecemasan. Contohnya, seorang pria yang mengalami masalah dengan keintiman dapat mengalihkan pandangannya ke luar jendela dan mengubah topik kapan pun terjadi pembicaraan yang berkaitan dengan kedekatan dalam suatu sesi.
Sampai titik tertentu analis akan berusaha menginterpretasi perilaku pasien, menunjukkan sifat defensifnya dengan harapan akan mendorong pasien mengakui bahwa dia menghindar dari topik semacam itu.
PENERAPAN dan SUMBANGAN TERAPI PSIKONALITIK
Terapi psikoanalitik menyajikan suatu dasar konseptual untuk memahami dinamika-dinamika tak sadar, pentingnya perkembangan dini berkenaan dengan kesulitan-kesulitan sekarang, kecemasan dan pertahanan-pertahanan ego sebagai cara mengatasi kecemasan, serta sifat transferensi dan transferensi balik.
X. TERAPI BEHAVIORISTIK
Berfokus pada tingkah laku yang tampak, ketepatan dalam menyusun tujuan-tujuan treatment, pengembangan rencana-rencana treatment yang spesifrk, dan evaluasi objektif atas hasil-hasil terapi. Terapi berlandaskan prinsip-prinsip teori belajar. Tingkahlaku yang normal dipelajari melalui perkuatan dan peniruan. Tingkah laku yang abnormal adalah akibat dari belajar yang keliru. la menekankan tingkah laku sekarang dan hanya memberikan sedikit perhatian kepada sejarah masa lampau dan sumber-sumber gangguan.
Tujuan terapi: · Menghapus pola pola tingkah laku maladaptif
· Membantu klien dalam mempelajari pola-pola tingkah laku yang konstruktif. Tujuan-tujuan spesifik dipilih oleh klien. Tujuan-tujuan yang luas dipecah ke dalam sub-tujuan-sub-tujuan yang tepat.
Dalam praktek Behavioristik:
¾ klien menentukan tujuan, perubahan yang spesifik dan kongkret yang diinginkannya;
¾ terapis mengembangkan suatu rencana treatment khusus yang efektif (melalui prosedur treatment) guna merealisasi perubahan-perubahan spesifik klien;
¾ bahwa individu mampu berubah dengan merancang ulang keniscayaan-keniscayaan eksternal.
¾ apa yang telah dipelajari bisa dihapuskan dengan belajar, dan pola-pola tingkah laku baru yang efektif bisa menggantikan tingkah laku yang telah dipelajari yang tidak efektif.
¾ tidak lagi menitikberatkan pada teori melainkan memperhatikan hal-hal yang langsung dan khusus yang dapat dilihat sebagai realitas dan obyek yang dapat dilihat
¾ pendekatannya; eksperimentalism, pragmatism dan instrumetalism
Pendekatan terapeutik ini memiliki beberapa ciri khas, yaitu:
· objektif dalam orientasinya dan tidak menekankan dimensi-dimensi subjektif dari pengalaman manusia, yang tidak bisa diamati secara langsung.
· spesifik:
¾ menggunakan prosedur treatment yang spesifik,
¾ berlandaskan tujuan yang spesifik
¾ berorientasi pada tingkahlaku dan tindakan.
· terapi jangka pendek
Teknik-Teknik Terapi Tingkahlaku
Teknik-teknik utamanya adalah desensitisasi sistematik, teknik implosif, latihan asertif, teknik aversif, dan pengondisian operan. Kesemua teknik berlandaskan prinsip-prinsip belajar dan digerakkan menuju perubahan tingkah laku. Diagnosis, pengumpulan data, pertanyaanpertanyaan "apa", "bagaimana", dan "kapan" (tetapi tidak "mengapa"), dan prosedur-prosedur pengetesan sering digunakan.
Seringkali sebutan “teknik terapi-nya Tingkahlaku” menjadi “sub-terapi”, seperti teknik Implosif lebih sering disebut Terapi Implosif, dan teknik Aversif disebut Terapi Aversif.
1. Desensitisasi sistematik
2. Terapi Implosif
3. Latihan asertif
4. Terapi Aversif
5. Pengkondisian Operant
a. Perkuatan positif
b. Pembentukan respon
c. Perkuatan intermitten
d. Penghapusan
e. Percontohan
f. Token economy
6. Modelling
Terapi perilaku muncul pada tahun 1950an, merupakan upaya untuk mengubah perilaku, pikiran, dan perasaan abnormal dengan menerapkan metode-metode yang dihasilkan oleh para psikolog eksperimental dalam studinya mengenai perilaku normal dan abnormal. Pada awalnya terapi ini menggunakan prosedur yang didasari classical dan operant conditioning untuk mengatasi masalah-masalah klinis (kadangkala diiistilahkan sebagai modifikasi perilaku)
Walaupun terdapat beberapa area yang tumpang tindih (Tipe pembelajaran pertama dari teori Behavioristik sering disebut Classical Conditioning), pendekatan di bawah ini sangat membantu untuk membedakan tiga pendekatan teoretis dalam terapi perilaku
A. counterconditioning dan exposure,
B. operant conditioning,
C. modeling.
Terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy) sering kali dianggap sebagai aspek keempat terapi perilaku, namun Gerald Corey mengajak kita membahas secara terpisah dalam paradigma kognitif karena berfokus pada proses-proses berpikir manusia.
A. COUNTER-CONDITIONING dan EXPOSURE
Karena paradigma belajar berasumsi bahwa perilaku adalah hasil pembelajaran, maka penanganan (treatment) sering kali mencakup pembelajaran ulang respons baru yang lebih adaptif.
Counter-conditioning adalah pembelajaran ulang yang dicapai dengan memberikan respons baru terhadap stimulus tertentu.
Wolpe mengajukan hipotesis bahwa counterconditioning mendasari efektivitas desensitisasi: suatu kondisi atau respons yang berlawanan dengan kecemasan¾ menggantikan kecemasan ketika seseorang secara bertahap dihadapkan pada hal-hal yang ditakutkannya, dalam tingkatan yang semakin lama semakin tinggi.
Suatu respons (R1) terhadap suatu stimulus (S) dapat dihilangkan dengan memberikan suatu respons baru (R2) terhadap stimulus tersebut,
Situasi asli: Stimulus A ¾® menghasilkan Respon 1
Setelah intervensi terapis: Stimulus A ¾® menghasilkan Respon 2
Contoh
Organisme = anak
Situasi asli Stimulus A = kelinci ¾® R 1 = takut pada kelinci
Intervensi Memberi makan anak (perasaan senang)
Peletakan kelinci secara sistimatis semakin dekat dengan anak
Situasi akhir Stimulus A = kelinci ¾® R 2 = tidak takut pada kelinci
(Mary Cover Jones)
1. TEKNIK DESENSITISASI SISTEMATIK
Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan teknik ini menyertakan pemunculan tingkah laku atau respons yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu. Prinsip counter-conditioning melandasi teknik desensitisasi sistematik, yang dikembangkan oleh Joseph Wolpe (1958).
Wolpe mengajukan argumen bahwa segenap tingkah laku neurotik adalah ungkapan dari kecemasan dan bahwa respons kecemasan bisa dihapus oleh kemunculan respons-respons yang berlawanan dengan respons tersebut. Dengan pengondisian klasik, kekuatan stimulus penghasil kecemasan bisa dilemahkan, dan gejala kecemasan bisa dikendalikan dan dihapus melalui penggantian stimulus.
Dalam teknik ini, Wolpe mengembangkan suatu respons, yakni relaksasi, yang secara fisiologis bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari situasi yang mengancam. Klien dilatih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasi..
Prosedur model pengondisian balik ini adalah sebagai berikut:
1. Desensitisasi sistematik
a. melakukan analisis tingkah laku atas stimulus-stimulus yang bisa membangkitkan kecemasan, apakah hal itu berbentuk penolakan, rasa iri, ketidaksetujuan, atau suatu fobia.
b. menyusun suatu tingkatan kecemasan-kecemasan klien berupa daftar yang menimbulkan kecemasan (atau penghindaran) secara bertingkat. Tingkatan dirancang dalam urutan dari situasi yang paling buruk yang bisa dibayangkan oleh klien ke situasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah (bisa juga bila klien memiliki kecemasan yang berkaitan dengan ketakutan terhadap penolakan, maka daftar tingkatan yang disusun adalah situasi-situasi penolakan dari yang paling menggelisahkan atau yang paling membangkikan kecemasan (misalnya penolakan oleh pasangan/kekasih, kemudian disusul oleh penolakan oleh sahabat dekat, dan kemudian penolakan oleh teman kerja. Situasi yang paling kurang menggelisahkan mungkin penolakan oleh orang yang tak dikenal dalam suatu pesta.
2. Pada pertemuan-pertemuan pertama klien diberi latihan relaksasi.
a. yaitu melakukan peregangan otot dan lambat laun pengenduran otot-otot yang berbeda sampai tercapai suatu keadaan santai penuh
b. dalam peregangan dan pengenduran otot-otot tertentu, klien membayangkan dan memikirkan situasi yang membuat santai, seperti duduk di pinggir danau atau berjalan jalan di taman yang indah
c. klien diminta untuk mempraktekkan relaksasi di luar pertemuan terapeutik, sekitar 30 menit lamanya setiap hari.
d. klien diberi tahu tentang cara relaksasi yang digunakan dalam desensitisasi
e. cara menggunakan relaksasi itu dalam kehidupan sehari-hari
f. apabila klien telah bisa belajar untuk santai dengan cepat, maka prosedur desensitisasi bisa dimulai.
3. Proses desensitisasi melibatkan keadaan di mana klien sepenuhnya santai dengan mata tertutup.
¾ Terapis menceritakan serangkaian situasi dan meminta klien untuk membayangkan dirinya berada dalam setiap situasi yang diceritakan oleh terapis itu. Situasi yang netral diungkapkan, dan klien diminta untuk membayangkan dirinya berada di dalamnya.
¾ Jika klien mampu tetap santai, maka dia diminta untuk membayangkan suatu situasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah.
¾ Terapis bergerak mengungkapkan situasi-situasi seeara bertingkat sampai klien menunjukkan bahwa dia mengalami keeemasan, dan pada saat itulah pengungkapan situasi diakhiri.
¾ Kemudian relaksasi dimulai lagi, dan klien kembali membayangkan dirinya berada dalam situasi-situasi yang diungkapkan oleh terapis.
¾ Treatment dianggap selesai apabila klien mampu untuk tetap santai ketika membayangkan situasi yang sebelumnya paling menggelisahkan dan menghasilkan keeemasan.
Wolpe (1969) mencatat tiga penyebab kegagalan desensitisasi sistematik:
(1) kesulitan-kesulitan dalam relaksasi, yang bisa jadi menunjuk pada kesulitan-kesulitan dalam komunikasi antara terapis dan klien atau kepada keterhambatan yang ekstrem yang dialami oleh klien;
(2) tingkatan-tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan, yang ada kemungkinan melibatkan penanganan tingkatan yang keliru; dan
(3) ketidakmemadaian dalam membayangkan.
Tambahan materi kuliah,
melengkapi teknik Desensitisasi Sistematik (terapi perilaku)
LATIHAN RELAKSASI
Dalam Desensitisasi Sistematik, Wolpe mengembangkan suatu respons, yakni relaksasi, yang secara fisiologis bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari situasi yang mengancam. Klien dilatih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasi. Tujuan relaksasi ini adalah agar terjadi hubungan antara keadaan kesantaian otot-otot (faali) dengan keadaan mengancam dimana fisiologis klien menjadi tegang.
Latihan relaksasi progresif dipakai sebagai teknik tersendiri, jadi tidak lagi sebagai bagian dari teknik terapi perilaku.
Sebagai teknik yang dipakai tersendiri, latihan relaksasi progresif dipakai untuk menghadapi pasien atau klien dengan masalah kecemasan umum dan kronis, bahkan akhir-akhir ini bidangnya menjadi lebih luas lagi dan kepada para pasien atau klien, diajarkan untuk bisa melakukannya sendiri [self-help] dengan mempergunakan alat "biofeedback" agar pasien mengetahui saat-saat tercapainya keadaan relaks.
Dalam melaksanakan latihan relaksasi progresif, terdapat beberapa model. Model Bernstein & Borkovec [1973] dan Bernstein & Given [1984]: membutuhkan waktu sekitar 35-40 menit dan meliputi 14 kelompok otot.
Dasar umum untuk melaksanakan ini diberikan oleh Bernstein & Given [1984] sebagai berikut:
- Mengajarkan klien bagaimana meregangkan otot-otot.
- Klien memulai meregangkan otot setelah terapis mengatakan "sekarang!". Peregangan dipertahankan selama lima sampai tujuh detik. Perhatian klien dipusatkan pada timbulnya perasaan karena peregangannya dengan ucapan yang tepat.
- Klien mengendorkan peregangan dan memulai relaks setelah mendengar perkataan relaks.
Suruhlah klien memusatkan pada perasaan relaks sebagai pengganti perasaan tegang. Pakailah ucapan-ucapan yang tepat untuk membantu klien mengarahkan perhatian secara langsung, agar merasakan relaks [yang disertai perasaan nyaman] selama kira-kira 30-40 detik.
4. Ulangi siklus peregangan-pengendoran pada otot yang sama, tetapi beri waktu sedikit lebih banyak untuk merasakan relaks, yakni sekitar 40-50 detik.
5. Meminta klien untuk memberikan tanda [misalnya, dengan mengangkat jari] kalau ototnya tidak sepenuhnya relaks. Dalam keadaan demikian, dapat diulang.
6. Sering kali terjadi jika klien diminta melakukan peregangan pada sesuatu kelompok otot, kelompok otot lain akan terpengaruh dan ikut tegang. Karena itu setelah latihan pertama, kepada klien diminta hanya meregangkan pada kelompok otot yang diminta dan mencegah agar kelompok otot lain tidak terpengaruh.
7. Pengulangan langkah-Iangkah tersebut di atas untuk kelompok otot yang lain sampai ke-14 kelompok otot telah dilakukan.
Setelah ke-14 kelompok otot terjadi pelemasan, terapis mengarahkan perhatian pasien atau klien agar merasakan relaks [nyaman] pada seluruh tubuh, melalui ucapan-ucapan yang sugestif dan menyuruhnya melakukan pernapasan dalam. Setelah itu baru dilakukan langkah-langkah lebih lanjut.
Ke-14 kelompok otot tersebut ialah:
1. Yang dominan pada tangan dan lengan.
2. Yang tidak dominan pada tangan dan lengan.
3. Dahi dan mata.
4. Pipi bagian atas dan hidung.
5. Dagu, muka bagian bawah, leher.
6. Pundak, punggung bagian atas, dada.
7. Perut.
8. Pinggul.
9. Yang dominan pada paha.
10. Yang dominan pada kaki.
11. Yang dominan pada tapak kaki.
12. Yang tidak dominan pada paha.
13. Yang tidak dominan pada kaki.
14. Yang tidak dominan pada tapak kaki.
Jika pasien atau klien berhasil mencapai keadaan relaks setelah tiga kali pertemuan, pengelompokan otot bisa diperbesar menjadi lima kelompok, yaitu:
- Lengan dan tangan bersama-sama.
- Semua otot muka.
- Dada, pundak, punggung bagian atas, perut.
- Pinggul dan pangkal paha.
- Kaki dan tapak kaki.
Efek dari latihan relaksasi menurut Masters, et al [1987], adalah:
- Meningkatnya pemahaman mengenai ketegangan otot.
- Meningkatnya kemampuan untuk menguasai ketegangan otot.
- Meningkatnya kemampuan untuk menguasai kegiatan yang terjadi dengan sendirinya.
- Meningkatnya kemampuan untuk menguasai kegiatan kognitif, meliputi pemusatan perhatian [konsentrasi] .
- Berkurangnya ketegangan otot.
- Berkurangnya perasaan bergelora secara kefaalan.
- Berkurangnya perasaan cemas dan emosi lain yang negatif.
- Berkurangnya kekhawatiran.
Dari hasil penelitian, menurut Masters, et al [1987], model latihan relaksasi dari Jacobson dinilai terlalu banyak memakan waktu, maka cenderung mencari model yang lebih sing-kat, praktis, namun tetap memiliki efek-terapeutik yang baik. Model yang singkat mem-butuhkan delapan sampai sepuluh kali pertemuan. Latihan relaksasi lebih pendek dari itu, tidak akan menghasilkan efek terapeutik yang diharapkan.
3. LATIHAN ASERTIF
Assertion Training
Pendekatan behavioral yang cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal di mana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar.
Andrew Salter, dalam bukunya Conditioned Reflex Therapy (1949), adalah terapis perilaku pertama yang menetapkan asertivitas sebagai tujuan positif bagi banyak orang.
Latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang:
(1) tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung,
(2) menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya,
(3) memiliki kesulitan untuk mengatakan "tidak",
(4) mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya,
(5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Goldfried dan Davison (1994) mengajukan beberapa kemungkinan penyebab perilaku tidak asertif.
· Klien tidak tahu apa yang harus dikatakan. Beberapa orang yang tidak asertif kurang memiliki informasi tentang apa yang harus dikatakan dalam berbagai situasi yang menghendaki ekspresivitas.
→ Terapis harus menyediakan informasi tersebut.
· Klien tidak mengetahui bagaimana cara berperilaku asertif. Mereka mungkin tidak mengusai nada dan tinggi rendahnya suara, kelancaran berbicara, ekspresi wajah dan kontak mata, dan gerakan tubuh yang diperlukan dalam asertivitas.
→ Modeling dan bermain peran dapat membantu orang-orang ini agar mampu menunjukkan tanda-tanda ketegasan dan keterbukaan.
· Klien takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi bila mereka menyatakan dirinya. Asertivitas mungkin dihambat oleh pernyataan diri yang negatif, seperti "Jika saya menyatakan diri¾ dan kemudian ditolak, maka itu akan menjadi bencana besar" (Schwartz &: Gottman, 1976).
→ Orang-orang semacam ini dapat memperoleh manfaat dari terapi perilaku rasional-emotif (rational-emotive behavior therapy).
· Klien merasa bahwa menjadi asertif bukanlah hal yang pantas atau benar. Sistem nilai yang dimiliki beberapa orang tidak memasukkan atau tidak mendorong asertivitas.
→ Orang-orang semacam ini lebih baik dilatih untuk mendapatkan kepuasan pribadi yang lebih besar, namun tidak lebih asertif.
Training asertif dapat diawali dengan percakapan di mana terapis mencoba mengarahkan klien untuk membedakan antara asertivitas dan agresi.
Asertif mencakup) ekspresi pikiran, perasaan, dan keyakinan secara langsung, jujur, dan pantas dengan menghargai hak-hak orang lain.
Agresi merupakan ekspresi diri yang ditandai dengan melanggar hak-hak orang lain dan merendahkan orang lain dalam upaya mencapai tujuan pribadi
(Lange dan Jakubowski ;1976).
Training asertif memancing beberapa isu etika. Dengan demikian, training asertif menyentuh aspek-aspek moral kehidupan sosial, yaitu definisi hak-hak orang lain dan cara yang pantas untuk mempertahankan hak-hak pribadi. Terapis membahas dan mencontohkan asertivitas yang pantas dan meminta klien memainkan peran dalam situasi tersebut.
Kasus: Kesulitan klien dalam menghadapi atasannya di kantor.
o klien mengeluh bahwa dia acap kali rnerasa ditekan oleh atasannya untuk melakukan hal-hal yang menurut penilaiannya buruk
o mengalami hambatan untuk bersikap tegas di hadapan atasannya itu.
§ Pertama klien memainkan peran sebagai atasan, memberi contoh bagaimana atasan berperilaku terhadap dirinya. Sementara terapis mencontoh cara berpikir dan cara klien menghadapi atasan.
§ Kedua, mereka saling menukar peran, klien memainkan peran bawahan sambil belajar (mencoba) tingkahlaku baru. Klien boleh memberikan pengarahan kepada terapis tentang bagaimana memainkan peran sebagai atasannya secara realistis, sebaliknya terapis melatih klien bagaimana bersikap tegas terhadap atasan.
§ Proses pembentukan tingkahlaku baru (dari klien) terjadi ketika klien berperan sebagai bawahan menunjukkan keberanian untuk bersikap tegas, berani mengatakan mengajukan alasan, dan berani mengatakan tidak.
§ Juga terjadi penghapusan kecemasan dalam menghadapi atasan dan sikap klien yang lebih tegas terhadap atasan menjadi lebih sempurna.
4. TERAPI AVERSIF
Aversive conditioning mengasosiasikan tingkahlaku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan, teknik aversif dilakukan sampai tingkahlaku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya, atau suatu stimulus yang menarik bagi klien dipasangkan (pairing) dengan sesuatu yang tidak menyenangkan
¾ obat yang membuat mual atau sengatan listrik yang menyakitkan tangan, dengan harapan memberikan muatan negatif pada stimulus dimaksud.
Seorang alkoholik tidak dipaksa untuk menjauhkan diri dari alkohol, tetapi justru disuruh meminum alkohol. Akan tetapi, setiap tegukan alkohol disertai sebelumnya dengan pemberian ramuan yang membuat si alkoholik merasa mual, dan kemudian muntah. Si alkoholik lambat laun akan merasa sakit bahkan meskipun hanya melihat botol alkohol. Pengetahuan tentang pengaruh-pengaruh buruk dari alkohol cenderung menghambat alkoholisme, tetapi terdapat kemungkinan bahwa alkoholik kembali pada kebiasaan semula setelah periode penahanan diri yang singkat.
Dalam setting yang lebih formal dan terapeutik, teknik-teknik aversif sering digunakan dalam penanganan berbagai tingkah laku yang maladaptif, mencakup minum alkohol secara berlebihan, kebergantungan pada obat bius, rnerokok, obsesi-obsesi, kompulsi-kompulsi, fetisisme, berjudi, homoseksualitas, dan penyimpangan seksual seperti pedofilia.
Maksud utama dari prosedur-prosedur aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif lain, dan yang akan terbukti memperkuat dirinya sendiri.
Pemberian hukuman (sesuatu yang menyakitkan) yang dipasangkan dengan stimulus menimbulkan masalah etika dalam teknik aversif.
Skinner (1971) menentang penggunaan hukuman sebagai cara untuk mengen-dalikan hubungan-hubungan manusia ataupun untuk mencapai maksud-maksud lembaga masyarakat.
¾ perkuatan positif jauh lebih efektif dalam mengendalikan tingkah laku karena hasil-hasilnya lebih dapat diramalkan serta kemungkinan timbulnya tingkah laku yang tidak diinginkan akan lebih kecil.
¾ hukuman tidak melemahkan kecenderungan untuk merespons bahkan kalaupun untuk sementara menekan tingkah laku tertentu.
Apabila hukuman digunakan, maka terdapat,kemungkinan terbentuknya efek-efek samping emosional tambahan seperti:
(1) tingkah laku yang tidak diinginkan yang dihukum boleh jadi akan ditekan hanya apabila penghukum hadir,
(2) jika tidak ada tingkah laku yang menjadi alternatif bagi tingkah laku yang dihukum, maka individu ada kemungkinan rnenarik diri secara berlebihan,
(3) pengaruh hukuman boleh jadi digeneralisasikan kepada tingkah laku lain yang berkaitan dengan tingkah laku yang dihukum. Jadi, seorang anak yang dihukum karena kegagalannya di sekolah boleh jadi akan membenci semua pelajaran, sekolah, semua guru, dan barangkali bahkan membenci belajar pada umumnya.
B. PENGKONDISIAN OPERAN
Operant Conditioning.
Tingkah laku ditampilkan di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat, jadi tingkah laku adalah alat untuk mencapai tujuan aau alat untuk menghindari akibat.
Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Skinner (1971), jika suatu tingkah laku diganjar, maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut di masa mendatang akan tinggi. Prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku, merupakan inti dari pengondisian operan.
1. Perkuatan Positif
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku.
Pemerkuat-pemerkuat primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Contoh pemerkuat primer adalah makanan dan tidur atau istirahat.
Pemerkuat-pemerkuat sekunder, yang memuaskan kebutuhan kebutuhan psikologis dan sosial, memiliki nilai karena berasosiasi dengan pemerkuat-pemerkuat primer. Contoh-contoh pemerkuat sekunder antara lain; senyuman, persetujuan, pujian, bintang-bintang emas, medali atau tanda penghargaan, uang, dan hadiah-hadiah.
Penerapan pemberian perkuatam positif pada psikoterapi membutuhkan spesifikasi tingkah laku yang diharapkan, mengidentifikasi (mencari) hal-hal apa yang bisa memperkuat individu, dan penggunaan perkuatan positif secara sistematis guna memunculkan tingkah laku yang diinginkan.
Menjadikan berbagai penguat positif tergantung pada perilaku bertujuan untuk meningkatkan frekuensi perilaku yang dikehendaki.
Masalah : Anak yang menarik diri dari pergaulan sosial
Penanganannya : Diberi penguat bila bermain dengan anak-anak lain.
Penguatan positif telah digunakan untuk:
· membantu anak-anak yang mengalami gangguan autistik mengembang-kan kemampuan bahasa
· mengatasi ketidakmampuan belajar
· membantu anak-anak yang menderita retardasi mental mengembangkan berbagai keterampilan yang diperlukan untuk hidup mereka
· mengompol, agresi, hiperaktivitas, tantrum, menarik diri dari pergaulan sosial (Kazdin, 1994).
2. Pembentukan Respons
Dalam pembentukan respons, tingkah laku sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat unsur-unsur kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai mendekati tingkah laku akhir.
Perilaku yang bermasalah dianalisis untuk menentukan fungsinya, dengan kata lain, apa yang menguatkannya. Pada umumnya, perilaku bermasalah diperkirakan dimotivasi oleh empat kemungkinan konsekuensi:
1. mencari perhatian
2. menghindari tugas
3. timbulnya penguatan secara indrawi
4. memperoleh akses ke berbagai benda yang dapat dipegang atau berbagai penguat lainnya (Carr, 1994).
Pada umumnya penanganan mencakup mengubah konsekuensi perilaku bermasalah.
Perilaku bermasalah dimotivasi oleh pencarian perhatian
Penanganannya ® mengabaikannya.
alternatif lainnya ® diikuti dengan jeda waktu, (time-out)
Time-out
Suatu prosedur di mana seseorang dikucilkan selama beberapa waktu di tempat yang membosankan di mana tidak terdapat berbagai penguat positif.
3. Perkuatan intermitten
Di samping membentuk, perkuatan-perkuatan bisa juga digunakan untuk memelihara tingkah laku yang telah terbentuk.
¾ Supaya efektivitasnya maksimal, terapis harus memahami kondisi-kondisi umum di mana perkuatan-perkuatan muncul.
¾ Oleh karenanya, timing (waktu yang tepat) merupakan hal yang penting dalam pemberian penguatan yang dilakukan terus menerus.
Dalam menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku, pada tahap-tahap permulaan terapis harus mengganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang diinginkan. Jika mungkin, perkuatan-perkuatan diberikan segera setelah tingkah laku yang diinginkan itu muncul. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar, tingkah laku spesifik apa yang akan diganjar.
→ Bagaimanapun, setelah tingkah laku yang diinginkan itu meningkat frekuensi kemunculannya, frekuensi pemberian perkuatan bisa dikurangi.
Sedangkan perkuatan intermiten diberikan secara bervariasi kepada tingkah laku yang spesifik. Tingkah laku yang dikondisikan oleh perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap penghapusan dibanding dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus-menerus.
Misal; Seorang anak yang selalu diberi pujian setiap berhasil menyelesaikan soal-soal matematika, memiliki kecenderungan berputus asa lebih besar ketika menghadapi kegagalan, dibanding dengan bila si anak hanya diberi pujian sekali-sekali.
Prinsip perkuatan intermiten bisa rnenerangkan, mengapa orang-orang bisa tahan dalam bermain judi atau dalam memasang taruhan pada pacuan kuda. Mereka cukup terganjar untuk bertahan meskipun mereka lebih banyak kalah daripada menang.
4. Penghapusan
Apabila suatu respons terus-menerus dibuat tanpa perkuatan, maka respons tersebut cenderung menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola tingkah laku yang dipelajari cenderung melemah dan terhapus setelah suatu ”periode penguatan”, maka cara untuk menghapus tingkah laku yang maladaptif adalah menarik perkuatan dari tingkah laku yang maladaptif itu.
Penghapusan dalam kasus semacam ini boleh jadi berlangsung lambat karena tingkah laku yang akan dihapus telah dipelihara oleh perkuatan intermiten dalam jangka waktu lama. Wolpe (1969) menekankan bahwa penghentian pemberian perkuatan harus serentak dan penuh. Misalnya, jika seorang anak menunjukkan kebandelan di rumah dan di sekolah, orang tua dan guru si anak bisa menghindari pemberian perhatian sebagai cara untuk menghapus kebandelan anak tersebut. Pada saat yang sama perkuatan positif bisa diberikan kepada si anak agar belajar tingkah laku yang diinginkan.
Terapis, guru, dan orang tua yang menggunakan penghapusan sebagai teknik utama dalam menghapus tingkah laku yang-tidak-diinginkan harus memahami bahwa tingkah laku yang-tidak-diinginkan itu pada mulanya bisa menjadi lebih buruk sebelum akhirnya terhapus atau terkurangi. Contohnya, seorang anak yang telah belajar bahwa dia dengan mengomel biasanya ia memperoleh apa yang diinginkan, mungkin akan memperhebat omelannya ketika permintaannya tidak segera dipenuhi. Jadi, kesabaran menghadapi periode peralihan sangat diperlukan.
5. Token Economy.
Sebuah contoh awal dalam pengkodian operant adalah token economy, suatu prosedur di mana beberapa token (kupon; misalnya kepingan poker atau stiker) diberikan ketika muncul perilaku yang dikehendaki dan nanti dapat ditukar dengan benda-benda atau aktivitas yang diinginkan.
Berdasarkan riset yang memberikan penghargaan bagi aktivitas di rumah sakit jiwa seperti merapikan tempat tidur dan menyisir rambut, dan tidak diberikan bila perilakunya tidak seperti yang dikehendaki.
¾ 45 orang pasien perempuan secara sistematis diberi penghargaan berupa kupon plastik apabila mereka merapikan bangsal mereka dan merawat diri sendiri. Kupon dapat ditukarkan dengan perlakuan khusus, seperti mendengarkan rekaman musik, menonton film di bioskop, menyewa kamar pribadi, atau datang ke kantin di luar jadwal. Kehidupan setiap klien sebanyak mungkin dikendalikan oleh rutinitas tersebut.
Metode token economy sangat mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata, misalnya, para pekerja dibayar untuk hasil pekerjaan mereka.
Penggunaan tanda-tanda sebagai pemerkuat-pemerkuat bagi tingkah laku yang layak memiliki beberapa keuntungan, yaitu:
(1) tanda-tanda tidak kehilangan nilai insentifnya,
(2) tanda-tanda bisa mengurangi penundaan yang ada di antara tingkah laku yang layak dengan ganjarannya,
(3) tanda-tanda bisa digunakan sebagai pengukur yang kongkret bagi motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tertentu,
(4) tanda-tanda adalah bentuk perkuatan yang positif,
(5) individu memiliki kesempatan untuk memutuskan bagaimana menggunakan tanda-tanda yang diperolehnya, dan
(6) tanda-tanda cenderung menjembatani kesenjangan yang sering muncul di antara lembaga dan kehidupan sehari-hari.
Token economy merupakan salah satu contoh dari perkuatan yang ekstrinsik, yang menjadikan orang-orang melakukan sesuatu untuk meraih "pemikat di ujung tongkat". Tujuan prosedur ini adalah mengubah motivasi yang ekstrinsik menjadi motivasi yang intrinsik.
C. MODELLING
Percontohan
Dalam pencontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model. Bandura (1969) menyatakan bahwa belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh secara tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya. Jadi, kecakapan-kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada.
Juga reaksi-reaksi emosional yang terganggu yang dimiliki seseorang bisa dihapus dengan cara mengamati orang lain yang mendekati objek-objek atau situasi-situasi yang ditakuti tanpa mengalami akibat-akibat yang menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya.
Bandura, Blanchard, dan Ritter (1969) mampu membantu banyak individu mengurangi ketakutannya terhadap ular yang tidak berbisa dengan meminta mereka mengamati secara langsung (atau melalui film) orang-orang yang mendekati ular secara bertahap dan akhirnya berhasil memegangnya.
Pengendalian diri pun bisa dipelajari melalui pengamatan atas model yang dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat berarti dan orang-orang pada umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku model-model yang menempati status yang tinggi dan terhormat di mata mereka sebagai pengamat.
Dengan cara yang sama, beberapa terapis perilaku menggunakan bermain peran (role-playing). Klien mengamati terapisnya melakukan cara-cara pola berperilaku yang terbukti lebih efektif dibanding yang biasanya dilakukan klien. Terapis kemudian membantu klien mempraktikkan keterampilan baru tersebut dalam situasi bermain peran, dan kemudian meminta klien melakukannya di dunia nyata.
Penerapan dan sumbangan Terapi tingkahlaku
Pendekatan ini telah bisa diterapkan secara luas pada terapi individual dan kelompok, lembaga-lembaga, sekolah-sekolah, dan situasi-situasi belajar lainnya. Terapi tingkah laku adalah pendekatan pragmatis yang berlandaskan kesahihan eksperimental atas hasil-hasil. Kemajuan (atau kegagalan) bisa ditaksir, dan teknik-teknik baru bisa dikembangkan.
XI. TERAPI EKSISTENSIAL – HUMANISTIK (3)
Pada dasarnya merupakan suatu pendekatan dari pada sebagai suatu model teoretis tetap.
Perkembangan kepribadian yang normal berlandaskan keunikan masing-masing individu. Ide-idenya sentralnya berupa:
· determinasi diri (penentuan menjadi apa seseorang itu) dan berfokus pada saat sekarang; yang berarti memiliki orientasi ke masa depan.
· ke arah pertumbuhan diri.
Psikopatologi adalah akibat dari kegagalan dalam mengaktualkan potensi dan paling baik ditangani dengan meningkatkan kesadaran individu terhadap motivasi dan kebutuhan.
Dasar-dasar Eksistensialisme
Humanisme dan eksistensialisme memiliki banyak persamaan, namun karya humanistik orang-orang Amerika seperti Rogers berlawanan dengan pendekatan eksistensial orang-orang Eropa.
Dalam buku yang berpengaruh tentang psikoterapi eksistensial, psikiater dari Universitas Stanford, Irvin Yalom menggambarkan dengan baik perbedaan di an tara dua pendekatan tersebut.
Tradisi eksistensial di Eropa selalu menekankan keterbatasan manusia dan dimensi-dimensi tragis eksistensi. Mungkin menjadi demikian karena bangsa Eropa sangat akrab dengan pembatasan geografis dan etnis, perang, kematian, dan eksistensi yang tidak pasti.
Amerika Serikat (dan psikologi humanistik yang diciptakannya) mandi dalam gelombang keluasan, optimisme, cakrawala tanpa batas, dan pragmatisme ... .... ....
Fokus bangsa Eropa adalah keterbatasan, menghadapi dan membawa kecemasan terhadap ketidakpastian dan ketiadaan ke dalam diri.
Para psikolog humanistik, di sisi lain,
¾ tidak banyak berbicara tentang keterbatasan dan kegawatan, namun lebih menekankan perkembangan potensi,
¾ tidak banyak berbicara tentang penerimaan namun lebih menekankan kesadaran;
¾ tidak banyak berbicara tentang kecemasan namun lebih menekankan pengalaman-pengalaman puncak dan keutuhan yang sangat luas,
¾ tidak banyak berbicara tentang makna hidup, namun lebih menekankan realisasi diri (dan aktualisasi din);
¾ tidak banyak berbicara tentang keterpisahan dan kesendirian yang mendasar, namun lebih menekankan saya - anda dan pertemuan.
Humanisme berpendapat bahwa jika tidak dirantai oleh rasa takut yang tidak berdasar dan batasan-batasan sosial, manusia akan berkembang normal, bahkan luar biasa.
Eksistensialisme lebih redup. Walaupun eksistensialisme menerima kehendak bebas dan tanggung jawab, namun menekankan kecemasan yang tidak dapat dihindari dalam membuat pilihan-pilihan penting, pilihan eksistensial yang mendasari eksistensi, seperti:
¾ tetap bersama atau sendiri (meninggalkan pasangan, meninggalkan kelompok)
¾ tetap bekerja atau tidak bekerja (misal untuk membesarkan anak)
¾ bahkan eksis (ada) atau tidak eksis (”tidak ada” dalam kehidupan bersama)
Kalimat awal monolog Hamlet yang terkenal, "To be, or not to be, that is the question", adalah pernyataan eksistensial klasik. Untuk menjadi benar-benar hidup adalah dengan menghadapi kecemasan yang menyertai pilihan-pilihan eksistensial. Untuk menghindari pilihan (seolah-olah tidak perlu membuat pilihan) dapat melindungi manusia dari kecemasan, namun juga membuat mereka tidak dapat menjalani hidup yang bermakna.
Tujuan terapi: · Memaksimalkan kesadaran diri dan pertumbuhan klien.
· Menghapus penghambat-penghambat aktualisasi potensi pribadi.
· Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri.
· Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab atas arah kehidupannya sendiri.
Berdasarkan pandangan eksistensi manusia, para terapis eksistensial mendorong klien untuk:
¾ menghadapi kecemasan yang berkaitan dengan pilihan-pilihan tentang bagaimana menjalani hidup, apa yang akan mereka maknai (terapis membantu klien untuk menemukan apa yang benar-benar berarti dalam hidup);
¾ bagaimana mereka menjalin hubungan dengan orang lain;
¾ menerima tanggung jawab terhadap eksistensinya dan untuk menyadari bahwa dalam batas tertentu, mereka dapat membentuk kembali diri mereka
Berdasarkan pandangan ini, kadangkala pilihan terpenting dan paling berani yang dapat diambil seseorang¾ akan menimbulkan rasa sangat tidak nyaman. Dalam pandangan eksistensial, manusia menciptakan lagi eksistensi mereka setiap saat.
Dalam praktek Eksistensial-Humanistis
¾ berlandaskan pertemuan antara klien dan terapis di mana klien adalah pasangan terapis dalam mencari dirinya sendiri.
¾ berlandaskan pemahaman atas aspek-aspek subjektif dari pengalaman klien
¾ menitikberatkan dimensi afektif.
¾ membantu klien mengembalikan tanggung jawab untuk memilih kualitas kehidupannya
¾ memahami klien dengan mengamati menjadi apa orang itu, bukan dengan menyelidiki masa lampaunya.
¾ pemahaman dan kesadaran yang diperoleh klien dicapai melalui pengalaman langsung (bukan melalui penafsiran-penafsiran terapis)
¾ klien diharapkan berbicara dan menetapkan apa yang akan dieksplorasinya selama pertemuan terapi.
Teknik-Teknik Terapi Eksistensial Humanistik
Terapis eksistensial tidak berkutat pada teknik-teknik. Ketergantungan terhadap teknik bahkan dapat dianggap sebagai proses obyektifikasi manusia, seolah klien adalah benda untuk dimanipulasi (Prochaska, 1984). Jadi, pendekatan ini mementingkan pemahaman dari pada teknik. Terapis eksistensial-humanistik bisa meminjam teknik-teknik dari pendekatan-pendekatan lain. Diagnosis, pengetesan, dan pengukuran-pengukuran eksternal tidak dipandang penting.
Tema dan dalil utama:
1. Kesadaran diri
2. Keterpusatan (keberanian untuk ada), dan kebutuhan akan orang lain
¾ Pengalaman kesendirian
¾ Pengalaman berhubungan
3. Kesadaran atas kematian, dan non-being
4. Pencarian makna dan penyisihan nilai-nilai lama
5. Kebebasan dan tanggungjawab
6. Perjuangan untuk aktualisasi diri
7. Kecemasan sebagai pendorong
¾ Kecemaan sebagai sumber pertumbuhan
¾ Pelarian dari kecemasan
Logo terapi
Pada tahun 1959 sebuah buku yang terkenal, From Death Camp to Existentialism, diterbitkan oleh Viktor Frankl, seorang psikiater berkebangsaan Austria yang menjalani tiga tahun yang sangat mengerikan di kamp konsentrasi Nazi dalam Perang Dunia II. Buku tersebut menggambarkan penistaan, penderitaan, dan teror yang dialami para tawanan di kamp tersebut. Frankl menceritakan bagaimana ia dan para tawanan lain berupaya untuk selamat secara psikologis dalam kondisi kamp kematian yang brutal tersebut.
Frankl menyimpulkan bahwa ia dapat bertahan secara emosional karena dengan berbagai cara berhasil
· Menemukan makna penderitaannya dan menghubungkannya dengan kehidupan spiritualnya. Jiwa memberikan kebebasan kepada individu untuk jauh melampaui berbagai keadaan dan kebebasan menjadikan individu bertanggungjawab terhadap hidupnya.
· Memahami bahwa psikopatologi, terutama depresi: terjadi bila seseorang tidak memiliki tujuan hidup.
Berdasarkan pengalaman hidupnya di kamp konsentrasi ia mengembangkan pendekatan psikoterapeutik yang disebut logo terapi, diambil dari bahasa Yunani logos, yang berarti makna.
Tugas logo terapis adalah menemukan makna dalam kehidupan klien. Hal ini dicapai pertama dengan menerima secara empatik pengalaman subjektif atas penderitaan klien, dan bukan menyatakan bahwa penderitaan merupakan suatu hal yang sakit dan salah sehingga dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal.
Logo terapis kemudian membantu klien menemukan hikmah dari penderitaannya dengan menempatkannya dalam konteks yang lebih besar, suatu filosofi hidup di mana individu bertanggungjawab atas eksistensinya dan untuk hidup berdasarkan serangkaian nilai. Seperti disampaikan Nietzsche dalam tulisannya, "Mereka yang memiliki tujuan hidup dapat menghadapi hampir semua tantangan."
Logo terapi dapat menjadi cara efektif untuk menghilangkan perasaan tidak berdaya yang dialami orang-orang yang depresi di masyarakat kontemporer, dalam berbagai kondisi yang tidak terlalu mengerikan dan brutal.
Dengan menerima tanggung jawab atas hidup mereka dan dengan mencari makna dalam situasi yang sulit sekalipun, mereka dapat memperoleh rasa kendali dan rasa kompeten yang penting bagi pembentukan eksistensi yang dapat diterima.
Penerapan dan sumbangan Terapi Eksistensial-Humanistik
Model ini menyajikan suatu pendekatan bagi konseling dan terapi individual serta kelompok dan untuk menangani anak-anak dan para remaja, dan berguna untuk diintegrasikan ke dalam praktek-praktek di sekolah. Sumbangan utamanya adalah penekanannya pada kebutuhan akan pendekatan subjektif yang berlandaskan suatu pandangan yang lengkap mengenai apa artinya menjadi manusia. Terapi eksistensial humanistik mengingatkan perlunya suatu pernyataan filosofis mengenai apa artinya menjadi pribadi.
XII. TERAPI CLIENT-CENTERED (4)
Terapi client-centered Carl Rogers dilandasi beberapa asumsi tentang ciri khas manusia dan berbagai cara untuk memahaminya (Ford Est Urban, 1963; Rogers, 1951, 1961).
· Manusia hanya dapat dipahami melalui persepsi dan perasaannya sendiri, yaitu dari dunia fenomenologisnya. Untuk memahami individu, kita harus melihat cara mereka mengalami berbagai peristiwa, bukan pada peristiwa itu sendiri (realitas subyektif), karena dunia fenomenologis setiap orang adalah penentu utama perilaku dan membuat orang tersebut unik.
· Manusia yang sehat sadar akan perilakunya.
· Manusia yang sehat secara alami baik dan efektif; mereka menjadi tidak efektif dan terganggu hanya bila mereka salah mempersepsi pengalamannya (congruence dan incongruence).
· Manusia yang sehat memiliki tujuan dan diarahkan oleh tujuan tersebut. Mereka mengarahkan diri sendiri.
· Para terapis semestinya tidak mencoba memanipulasi peristiwa bagi klien; namun sebaliknya mereka harus menciptakan kondisi yang akan memudahkan pengambilan keputusan secara independen oleh klien.
Tujuan terapi: · Membantu klien agar mampu menyadari penghambat-penghambat pertumbuhan dan aspek-aspek pengalaman diri yang sebelumnya diingkari atau didistorsinya
· Membantu klien agar mampu bergerak ke arah keterbukaan terhadap pengalaman serta meningkatkan spontanitas dan perasaan hidup.
Dalam praktek Client-Centerd:
¾ Terapis menghindari menetapkan tujuan bagi klien, klien harus memimpin dan menentukan arah dan tujuan pada setiap sesi.
¾ Terapis menciptakan iklim kondusif bagi rasa aman klien agar klien bebas mengeksplorasi dirinya sendiri dan menilai sisi hidup mana yang memuaskan baginya.
¾ Terapis menciptakan suasana terapeutik yang hangat, penuh perhatian, dan penuh penerimaan, terutama jika terapis secara total menerima orang tersebut apa adanya, memberikan apa yang disebut Rogers penerimaan positif tanpa syarat (unconditional positif regard)¾ agar kapasitas alami individu tumbuh dan mengatur diri sendiri akan muncul dengan sendirinya, walaupun nampaknya klien tidak sanggup membuat keputusan sendiri terapis bertahan untuk tidak ikut bertanggungjawab atas kehidupan klien.
¾ Terapis client-centered dan dan terapis eksistensial, dan humanistik lainnya, beranggapan bahwa manusia harus bertanggung jawab terhadap diri sendiri, bahkan pada saat mereka mengalami masalah.
¾ Semakin sering digunakan semakin ditemukan cara-cara untuk menghadapi berbagai model dan metode dari terapi dan pelaksanaannya
¾ Penentuan diagnostik pada umumnya menjadi tidak relevan lagi.
¾ Model pendekatan tradisional dari bidang kedokteran dalam psikoterapi ternyata sebagian besar bertentangan dengan pendekatan terpusat pada pribadi.
Teknik-Teknik Terapi Client Centerd
Pendekatan ini tidak menggunakan teknik-teknik, tetapi menitikberatkan sikap-sikap terapis. Teknik-teknik dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan; menjelaskan, dan empati agar terapis "hadir" bagi klien. Dukungan dan pemberian keyakinan bisa digunakan jika layak. Pendekatan ini tidak melakukan pengetesan diagnostik, penafsiran, dan sejarah klien. Sikap-sikap terapis yang terutama adalah empati. Empati sangat penting dalam terapi Rogerian dan dalam terapi lainnya.
Empati
Egan (1975) membagi Empati menjadi dua bagian. (1) Empati primer dan (2) Empati tingkat lanjut.
Empati primer mengacu pada pemahaman dan penerimaan terapis terhadap apa yang dipikirkan dan dirasakan klien, kemudian mengkomunikasi kepada klien fikiran dan perasaan klien dengan cara mengulang apa yang dipikirkan dan dirasakan klien.
Empati tingkat lanjut mencakup penyimpulan fikiran dan perasaan-perasaan yang tersirat dalam perkataan klien oleh terapis, yang mungkin hanya sedikit disadari klien. Secara esensial empati tingkat ini mencakup interpretasi makna fikiran dan perasaan klien oleh terapis.
Setelah mempertimbangkan apa yang telah disampaikan klien dalam beberapa sesi dan cara klien menyampaikannya, terapis mengembangkan hipotesis tentang penyebab sebenarnya penderitaan klien.
Contoh berikut ini menggambarkan perbedaan antara empati primer dan tingkat lanjut.
Klien :
Saya tidak mengerti apa yang terjadi. Saya belajar giat, tetapi saya tidak mendapatkan nilai bagus. Saya pikir saya belajar segiat orang lain, namun sepertinya semua usaha saya sia-sia. Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan.
Konselor A:
Anda merasa frustrasi karena walaupun anda berusaha keras anda tetap gagal (empati primer).
Pada level empati primer, terapis menerima pandangan ini, memahaminya, dan mengkomunikasikan pada klien bahwa pandangannya dihargai.
Konselor B:
Memang sangat sedih bila berusaha sekeras mereka yang lulus, namun tetap gagal. Itu membuat anda sangat kecewa dan bahkan membuat anda merasa sedikit mengasihani diri Anda sendiri (empati tingkat lanjut).
Pada empati tingkat lanjut atau level interpretatif, terapis menyodorkan sesuatu yang baru, suatu perspektif yang diharapkan lebih baik dan lebih produktif dan mencakup cara baru dalam bertindak. Empati tingkat lanjut dikembangkan berdasarkan informasi yang diperoleh selama berlangsungnya sejumlah sesi di mana terapis berkonsentrasi untuk menyampaikan pernyataan empatik level primer.
Terapis client-centered, bekerja dalam perspektif fenomenologis, harus menjadikan perpindahan klien dari dunia fenomenologisnya saat ini ke dunia fenomenologis lain sebagai tujuan, dari sini pentingnya tahap empati tingkat lanjut. Karena emosi dan tindakan manusia ditentukan oleh bagaimana mereka menginterpretasi diri sendiri dan lingkungan-melalui fenomenologi mereka-mereka yang mengalami disfungsi atau tidak puas dengan cara hidup mereka saat ini- membutuhkan fenomenologi baru.
Teknik yang digunakan lebih pada pendekatan atau sikap-sikap terapis terhadap klien, yang ditandai oleh perkembangan teori Client-Centerd Carl Rogers, pendekatan-pendekatannya adalah:
1. "Nondirective" menitikberatkan pada penerimaan klien, pembentukan suasana positif yang netral, percaya kepada kebijaksanaan klien, sikap membolehkan dan mempergunakan penjelasan-penjelasan dari dunia klien sebagai teknik utama.
2. "Client-centered" memusatkan pada pemantulan kembali perasaan-perasaan klien, menyatukan perbedaan-perbedaan antara dirinya yang ideal (ideal self) dan dirinya yang sesungguhnya (real self), menghindari situasi yang mengancam klien secara pribadi.
3. ”Person-centered approach" memusatkan pada proses kemanusiaan klien. Bila sesuatu yang sudah dihayati oleh klien sebagai bermakna, maka konselor/terapis jauh lebih mudah untuk memberikan semangat kepada klien
Dalam pandangan Rogers, jalan menuju self-actualization melibatkan suatu proses self-discovery dan self-acceptance, menyadari perasaan-perasaan kita yang sesungguhnya, menerima perasaan milik kita sendiri, dan bertindak dengan cara yang secara sejati merefleksikan perasaan-perasaan tersebut. Hal ini merupakan tujuan dari metode Rogers unruk psikoterapi, disebut terapi yang berpusat pada klien (client-centered therapy) atau terapi yang berpusat pada individu (person-centered therapy).
Penerapan dan sumbangan Terapi Client-Centered
Pendekatan ini bisa diterapkan secara luas pada konseling dan terapi individual serta ke-lompok bagi pengajaran yang terpusat pada siswa. Sumbangan unik dari pendekatan ini adalah menjadikan klien mengambil sikap aktif dan memikul tanggung jawab untuk me-ngarahkan jalannya terapi. Pendekatan ini menentang peran terapis tradisional yang umumnya menggunakan teknik-teknik diagnosis, menggali dan menafsirkan serta menen-tang pandangan yang melihat terapis sebagai ahli.
XIII. TERAPI GESTALT (5)
Terapi yang memiliki elemen eksistensial dan humanistik, yaitu terapi Gestalt, berasal dari Frederich S. (Fritz) Perls.
Gestalt (kata Jerman) artinya bentuk, konfigurasi, atau keseluruhan. Atau ”organisasi dari keseluruhan yang bermakna”.
Bila melihat hanya pada satu bagian dari sesuatu tanpa melihat bagian lain, maka kita akan kehilangan karakteristik yang penting, karena karakteristik yang penting itu hanya didapat bila kita melihat sesuatu secara keseluruhan.
Terapi Gestalt berpijak pada premis bahwa individu-individu harus menemukan jalan hidupnya sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi jika mereka ingn mencapai kematangan. Karena bekerja terutama di atas prinsip kesadaran, terapi Gestalt berfokus pada apa dan bagaimana-nya tingkah laku dan pengalaman di sini-dan-sekarang dengan memadukan (mengintegrasikan) bagian-bagian kepribadian yang terpecah dan tak diketahui.
KONSEP-KONSEP UTAMA
A. Pandangan tentang Manusia
Gestalt menekankan konsep-konsep seperti perluasan kesadaran, penerimaan tanggung jawab pribadi, kesatuan pribadi, dan memiliki kesanggupan memikul tanggung jawab pribadi dan hidup sepenuhnya sebagai pribadi yang terpadu.
Individu memiliki kemampuan memikul tanggungjawab pribadi dan hidup sepenuhnya sebagai pribadi yang terpadu. Disebabkan oleh masalah-masalah tertentu dalam perkembangannya, individu membentuk berbagai cara untuk menghindari masalah.
Gestalt merupakan terapi eksperiensial yang menekankan perasaan-perasaan dan pengaruh-pengaruh urusan yang tak selesai terhadap perkembangan kepribadian sekarang.
B. Keseimbangan dan keseluruhan (keutuhan) pribadi
Jika pengalaman-pengalaman dirasakan sebagai keseluruhan, semua akan seimbang, namun kalau bagian-bagian dihilangkan, maka manusia akan berusaha menyusun keseimbangan sebagai "Gestalt" [keseluruhan, totalitas]. Dalam hal ini Perls memandang manusia selalu terlibat dalam mencapai keseimbangan. Ketidakseimbangan terjadi bilamana kehidupannya terganggu oleh kebutuhan-kebutuhan dari dunia dalam dan tuntutan-tuntutan dari dunia luar. Gangguan ini menimbulkan ketegangan dan karena itu diperlukan keseimbangan untuk mengurangi dan menghilangkan ketegangan tersebut.
Dalam keadaan sehat seseorang mampu mengatasi masalah keseimbangan dan ketidak-seimbangan dirinya. Dalam keadaan terganggu, ia menjadi tidak seimbang dan timbul ketakutan dan menghindar. Maka perlu penyadaran ulang agar keseimbangan tercapai. Untuk ini diperlukan terapi agar seseorang membukakan diri secara langsung dan segera terhadap pengalaman yang berkaitan dengan pikiran, perasaan dan tindakan sekarang ini.
Jadi dalam keadaan sehat seseorang memusatkan pada satu kebutuhan [sebagai bentuk, wujud atau "figure"] pada satu saat, sementara itu kebutuhan-kebutuhan lain menjadi latar belakangnya [inilah konsep hubungan wujud dengan latar belakangnya atau "figure-ground relationship" dalam Psikologi Gestalt].
Kalau sesuatu kebutuhan terpenuhi [artinya Gestalt tercapai] kemudian kebutuhan itu berubah menjadi latar belakang dan kebutuhan baru muncul, menjadi figure (pusat perhatian) lagi. Perubahan-perubahan antara wujud dengan latar belakang jika berlangsung semakin lancar, semakin menunjukkan kepribadian yang sehat.
Perls merumuskan seorang penderita neurosis sebagai orang yang berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan pada satu saat, dengan akibat gagal untuk memenuhinya secara penuh
C. Saat sekarang; tidak ada yang ”ada” kecuali ”sekarang” dan ”di sini”
Para terapis Gestalt berfokus pada apa yang dilakukan klien di dalam ruang konsultasi pada saat ini, sekarang, tanpa menggali masa lalu (masa lalu telah pergi), karena peris-tiwa terpenting dalam hidup klien adalah apa yang terjadi pada saat ini. Bukan masa depan (masa depan belum datang). Energi ada pada saat sekarang. Meratapi masa lalu menghabiskan energi. Mengangankan masa depan membuang-buang energi.
Dalam terapi semua yang eksis adalah saat ini. Jika masa lalu menyusahkan dan berkaitan dengan sikap-sikap dan perasaannya sekarang, maka masa lalu tersebut dibawa ke masa kini.
Pertanyaan "mengapa" tidak digunakan karena mencari penyebab di masa lalu dianggap sebagai upaya melarikan diri dari tanggung jawab untuk membuat berbagai pilihan di masa kini.
Perls menerangkan kecemasan sebagai ”kesenjangan antara saat sekarang dan saat kemudian”. Saat kemudian (masa depan) difikirkan sebagai "tahap yang menakutkan", yakni dirasuki oleh fikiran "kegagalan penyesuaian dengan tuntutan lingkungan”, berbagai hal buruk yang akan terjadi atau oleh pengharapan mengenai berbagai hal yang menakjubkan yang akan timbul" (Perls, 1969a). Mereka berusaha menutup kesenjangan antara saat sekarang dan hari kemudian dengan membuat resolusi-resolusi, rencana-rencana, dan visi-visi daripada menjalani hidup pada saat sekarang.
Kontak dengan saat sekarang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan "apa" dan "bagaimana" ketimbang "mengapa" dalam rangka meningkatkan kesadaran atas "saat sekarang". Apa yang terjadi sekarang ini? Apa yang sedang berlangsung sekarang? Apa yang sedang Anda alami sekarang saat Anda duduk di sana dan mencoba berbicara? Bagaimana kesadaran Anda saat ini? Bagaimana Anda mengalami ketakutan Anda sendiri saat ini? Bagaimana Anda mencoba menarik diri saat ini?
Jika klien mulai berbicara tentang kesedihan, kesakitan, atau kebingungan di masa lampau, terapis membuat usaha-usaha agar klien mengalami kesedihan, kesakitan, dan
kebingungan itu sekarang, dengan menjalaninya kembali (menghidupkan kembali perasaan-perasaan masa lampaunya) seakan-akan masa lampau itu hadir pada saat sekarang.
D. Urusan yang tidak selesai
Berbagai masalah psikologis bermula dari rasa frustrasi dan pengingkaran, penghindaran dan menjadi urusan yang tak selesai. Urusan yang tidak selesai merupakan perasaan-perasaan yang tidak terungkap, seperti dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, rasa berdosa, rasa diabaikan, dan sebagainya.
Meskipun tidak bisa diungkapkan, perasaan-perasaan itu diasosiasikan dengan ingatan-ingatan dan fantasi-fantasi tertentu.
Karena tidak terungkapkan di dalam kesadaran, perasaan-perasaan itu tetap tinggal pada latar belakang dan dibawa kepada kehidupan sekarang dengan cara-cara yang menghambat hubungan yang efektif dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain.
Kasus:
Seorang pria yang tidak pernah merasa sepenuhnya dicintai dan diterima oleh ibunya. Si pria menaruh dendam pada ibunya, sekalipun dia terus mencari perhatian sang ibu. Dia selalu merasa diri tidak memadai. Dalam usahanya menyimpangkan arah kebutuhan akan persetujuan ibunya, si pria mencari wanita yang bisa mengukuhkannya sebagai pria. Dalam mengembangkan berbagai permainan guna memperoleh wanita yang bisa memberikan persetujuan itu, si pria tetap merasa tidak puas. Urusan yang tak selesai telah menghambat hubungan intimnya yang otentik dengan wanita. Dengan demikian, tingkah laku si pria didominasi oleh pencarian cinta yang kompulsif yang tidak pernah diterimanya dari ibunya.
Dia perlu mengalami penyingkapan (pengungkapan) urusan yang tak selesai agar bisa mengalami kepuasan yang nyata yakni si pria perlu berpaling pada persoalan lama dan mengungkapkan perasaan-perasaan yang tak diketahuinya.
Tujuan terapi: · Membantu klien untuk memperoleh kesadaran atas pengalaman dari saat ke saat
· Menantang klien agar menerima tanggung jawab atas pengambilan yang berasal dari internal dirinya sendiri (atas kesadaran sendiri), bukan dukungan dari luar.
Dalam praktek terapi Gestalt
Fokus terapi
Terapis berfokus pada apa dan bagaimana klien mengalami di sini-dan-sekarang, agar klien mampu menerima polaritas-polaritas dirinya (menerima bagian-bagian diri) dan mengalami hal-hal apa atau cara-cara apa yang menghambat kesadaran dirinya.
Berhubungan dengan hal yang jelas
Orang yang neurotik tidak mampu melihat hal yang jelas. Terapis menghindari intelektualisasi abstrak, diagnosis, penafsiran, dan ucapan yang belebihan. Penafsiran-
penafsiran dan diagnosis-diagnosis yang cerdik tidak diperlukan. Yang penting adalah menciptakan iklim di mana klien membangkitkan proses-proses perkembangannya sendiri serta menjadi lebih terfokus pada pengubahan kesadarannya dari waktu ke waktu.
Perluasan Kesadaran
Dengan kesadaran, klien memiliki kesanggupan untuk menghadapi dan menerima bagian-bagian keberadaan yang diingkarinya serta untuk berhubungan dengan pengalaman-pengalaman subjektif dan dengan kenyataan. Klien bisa menjadi suatu kesatuan yang menyeluruh. Apabila klien menjadi sadar, maka urusannya yang tidak selesai akan muncul sehingga bisa ditangani dalam terapi.
Klien didorong, dipengaruhi, kadangkala bahkan dipaksa untuk menyadari apa yang terjadi sekarang ini. Konfrontasi sering digunakan untuk membangkitkan perhatian terhadap ketidaksesuaian atau peningkatan kesadaran.
Selama sesi terapi para terapis Gestalt sering kali menciptakan skenario yang tidak biasa untuk membuat lebih gamblang dan dapat dipahami (Gestalt berhubunga dengan hal yang jelas). Penggunaan metafora dibawah ini memperlihatkan penggunaan konfrontasi untuk peningkaktan kesadaran. Situasi di bawah ini terjadi dalam satu sesi terapi:
Sepasang suami istri duduk bersama di satu sofa, berdebat tentang ibu sang istri. Sang suami tampaknya sangat marah pada ibu mertuanya, dan terapis menduga bahwa ibu mertuanya ikut campur dalam hubungannya dengan sang istri.
Terapis ingin menunjukkan kepada pasangan tersebut betapa tidak mengenak-kannya keadaan tersebut bagi keduanya, dan dia juga ingin memancing keduanya untuk mengatasi keadaan tersebut.
Tanpa peringatan, dia bangkit dari kursinya dan duduk di antara pasangan tersebut. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap. Sang suami tampak bingung, kemudian perasaannya terluka, dan akhirnya menjadi marah pada si terapis. Dia memintanya untuk berpindah agar dia dapat duduk di sebelah istrinya lagi. Si terapis menggelengkan kepalanya.
Ketika sang suami mengulangi permintaannya, si terapis melepaskan jasnya dan meletakkannya di kepala sang istri sehingga si suami bahkan tidak dapat memandangnya. Setelah itu terjadi keheningan yang panjang, dan selama itu si suami menjadi semakin memendam marahnya. Sementara itu, sang istri tetap duduk diam, tertutup oleh jas terapis.
Tiba-tiba sang suami berdiri, berjalan melewati terapis, dan dengan marah memindahkan jas dari kepala istrinya; kemudian mendorong terapis dari sofa. Tawa renyah terapis meledak. "Saya menduga-duga sampai berapa lama anda baru melakukan sesuatu!"
Situasi yang ditampilkan tersebut menunjukkan beberapa poin penting dengan cara yang tidak dapat ditunjukkan oleh sekadar kata-kata. Sang suami, yang telah dilatih
oleh terapis untuk lebih memahami perasaannya dan mengekspresikan nya tanpa rasa takut atau malu. Sang suami bercerita dengan air rnata berlinang bahwa dia merasa dipisahkan dari istrinya oleh terapis, sama seperti dia merasa diasingkan dari istrinya oleh ibunya. Sang ibu ikut campur, dan dia tidak melakukan tindakan apa pun untuk mengatasinya. Dia tidak percaya diri untuk menyampaikan kebutuhannya dan untuk mengambil tindakan guna memenuhi kebutuhan tersebut.
Fakta bahwa dia mampu memindahkan jas dan juga si terapis membuatnya berpikir untuk melakukan tindakan yang sama pada ibu mertuanya. Ketika dia berbicara, istrinya mulai tersedu; dia mengungkapkan kepada suaminya bahwa selama ini dia menunggu suaminya mengambil tindakan atas masalahnya dengan ibunya.
Kemudian, si terapis memandang sang istri dan bertanya mengapa dia sendiri tidak memindahkan jas tersebut? Sang suami tersenyum ketika terapis dengan halus menyalahkan istrinya karena sangat pasif dalam menghadapi masalah perkawinannya.
Di akhir sesi, kedua klien, walaupun secara emosional sangat lelah, merasa menjalin kontak yang lebih baik di antara keduanya dan menunjukkan tekad mereka untuk berusaha bersama-sama secara aktif mengubah hubungan mereka dengan ibu si istri.
Penerimaan tanggungjawab pribadi
Untuk membantu klien bertanggung jawab terhadap masa kini dan masa depannya, terapis menginstruksikan pada klien untuk selalu merujuk pada diri sendiri dengan menggunakan kata "saya" (Penggunaan kata "saya", I-language)
Terapis : Apa yang anda dengar dalam ”suara anda”?
Klien : Suara itu terdengar seperti suara orang yang jenuh.
Terapis : Dapatkah Anda mengambil tanggungjawab atas hal itu dengan mengatakan, saya sedang jenuh?
Klien : Saya merasa jenuh dan saya bertanggungjawab atas kejenuhan saya itu
Hal sederhana tentang bahasa ini, mendorong klien bertanggung jawab terhadap perasaan dan perilakunya, dan mengurangi perasaan diasingkan dari berbagai aspek keberada-annya. Juga membantu klien melihat dirinya sebagai sesuatu yang aktif dan bukannya pasif, sebagai orang yang terbuka dan berupaya, bukannya sebagai seseorang yang perilakunya ditentukan sepenuhnya oleh berbagai peristiwa di luar dirinya.
Terapis memperhatikan kalimat non-verbal
Semua terapis memerhatikan kalimat non-verbal dan kalimat paralinguistik yang disam-paikan klien. Kalimat non-verbal adalah gerakan-gerakan tubuh, ekspresi wajah, gerakan tangan, dan semacamnya; kalimat paralinguistik adalah nada suara, kecepatan bicara, dan komponen percakapan yang dapat didengar di luar isi percakapan. Dengan tangan dan matanya, orang dapat mengingkari apa yang dikatakannya melalui mulut. Perls membe-rikan penekanan khusus pada sinyal-sinyal nonbahasa tersebut, mengamatinya secara cermat untuk menentukan apa yang sesungguhnya mungkin dirasakan klien.
Teknik-Teknik Terapi Gestalt
Berbagai teknik dirancang untuk mengintensifkan perasaan mengalami dan untuk mengintegrasikan perasaan-perasaan yang berlawanan. Pertanyaan-pertanyaan yng digunakan; "bagaimana" dan "apa".
Teknik-teknik lebih merupakan ”permainan-permainan”
1. Permainan dialog ”top dog” dan ”under dog”,
dengan teknik kursi kosong
Pemisahan antara top dog dan under dog, dan mempertentangkan antara keduanya. Konflik antara dua sisi kepribadian yang berlawanan itu berakar pada introyeksi dan penggabungan aspek-aspek, nilai-nilai, perilaku-perilaku orang lain ke dalam sistem ego individu. Pengambilan nilai-nilai tersebut diperlukan, namun perlu disadari introyeksi yang dapat meracuni sistem integrasi kepribadiannya sendiri.
Kursi kosong adalah teknik dua kursi, di mana klien berpindah ke kursi yang di-ajaknya berbicara dan merespons seolah-olah dia adalah orang atau perasaan yang berada di kursi kosong. Klien memproyeksikan seseorang, objek, atau situasi ke kursi kosong dan berbicara kepadanya.
2. Berkeliling di dalam terapi kelompok
Komentar dari anggota kelompok
Proyeksi anggota kelompok
Klien diminta berkeliling diantara anggota kelompok, berbicara dan melakukan sesuatu.Tujuan agar klien berani menghadapi, berani mengungkapkan diri, mencoba tingkahlaku baru (menghadapi penilaian orang lain, proyeksi orang lain)
3. Pembalikan
Teknik bermain peran
Gejala dan tingkahlaku tertentu seringkali merupakan representasi yang berlawanan dari impuls-impuls yang mendasari. Klien wanita yang mengalami hambatan yang kuat dan rasa malu berlebihan diminta memainkan peran sebagai wanita yang ekshibisionis. Nyonya ”teramat sopan” berperan sebagai wanita ”segenit-genitnya”.
4. Permainan ulangan dalam terapi kelompok
Ø menimbulkan kesadaran akan peran sosial
Banyak pemikiran kita merupakan pengulangan. Kita mengulang peran-peran diharapkan masyarakat, namun kita kesulitan berperilaku sesuai peran kita. Bermain peran dengan mengulang-ulang dan berbagi diantara anggota kelompok, klien menjadi sadar untuk memenuhi harapan masyarakat, dan juga sadar akan keinginan untuk diterima dan sejauh mana klien berusaha untuk memperoleh penerimaan.
5. Permainan melebih-lebihkan
Ø klien sungguh-sungguh mendengan dan didengar
Ø penerimaan diri
Permainan ini berhubungan dengan peningkatan kesadaran atas tanda-tanda atau isyarat halus yang dikirim seseorang melalui bahasa tubuh. Bagaimana mengirim pesan dan menerima pesan akan lebih disadari klien dengan melakukan perilaku melebih-lebihkan gerakan dan mengungkapkan dengan lisan arti gerakan-gerakan itu. Klien kemudian mulai sungguh-sungguh mendengar dan didengar oleh dirinya sendiri.
6. Tetap dengan perasaan
® menyelami perasaan yang ingin dihindari
® menghadapi dan menkonfrontasi perasaan
Pada saat klien menunjuk pada perasaan yang tidak menyenangkan dan sangat ingin dihindarinya, tetapi justru terapis mendesak klien untuk tetap dengan atau menahan perasaan yang sangat ia hindari itu. Klien diminta menyelam lebih dalam ke dalam perasaan yang ingin dihindari itu. Menghadapi atau berkonfrontasi dan mengalami perasaan yang ingin dihindari tidak hanya membutuhkan keberanian, tetapi juga membutuhkan kesediaan untuk bertahan dalam kesakitan guna membuka dan membuat jalan menuju taraf pertumbuhan yang lebih baru.
7. Merekonstruksikan mimpi
® Mimpi sebagai sesuatu yang terjadi sekarang
® Menjadi permainan dialog, dan kesadaran akan perasaannya sendiri
Gestalt membawa mimpi dalam kehidupan seakan-akan mimpi berlangsung nyata dan sekarang. Klien diminta merinci mimpi, orang-orang, kejadian dan suasana mimpi, dan membuat skenario untuk pertemuan diantara berbagai karakter tokoh-tokoh dalam mimpinya. Klien melakukan dialog diantara orang-orang di dalam mimpinya dan bertanggungjawab atas mimpinya. Dengan melibatkan diri pada dialog antara sisi-sisi yang berlawanan (diantara tokoh-tokoh dalam mimpinya), klien lambat laun sadar atas perasaan-perasaannya sendiri.
Terapi Gestalt sangat kuat menyampaikan pesan eksistensial bahwa seseorang bukanlah tawanan masa lalunya, bahwa kapan pun dia dapat mengambil pilihan eksistensial untuk menjadi berbeda, dan bahwa terapis tidak akan mentoleransi keadaan yang tidak berubah.
Penekanan Perls pada tanggung jawab tidak untuk dicampuradukkan dengan komitmen atau kewajiban terhadap orang lain. Individu memiliki tanggung jawab untuk menjaga diri sendiri, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri pada saat kebutuhan tersebut muncul.
Penerapan dan sumbangan Terapi Gestalt
Teknik-teknik terapi Gestalt cocok untuk diterapkan pada konseling dan terapi individual serta kelompok. Juga bisa diterapkan pada situasi-situasi mengajar-belajar di kelas. Sumbangan utamanya adalah penekanannya pada melakukan dan mengalami dari pada hanya membicarakan perasaan-perasaan.
XIV. ANALISIS TRANSAKSIONAL (6)
Analisis Transaksional adalah psikoterapi transaksional, dan merupakan terapi yang kontraktual dan decisioanal. Analisis Transaksional berfokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh klien dan menekankan kemampuan klien untuk membuat putusan-putusan baru.
Pendekatannya lebih pada aspek kognitif rasional behavioral dan berorientasi pada peningkatan kesadaran sehinga klien mampu membuat putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya.
Analisis Transaksional didasari oleh filsafat antideterministik, bahwa manusia mampu mengatasi pengkondisian dan pemprograman awal. Analisis Transaksional berasumsi bahwa manusia sanggup memahami putusan-putusan masa lampaunya, dan bahwa manusia itu mampu memilih untuk memutuskan ulang.
KONSEP-KONSEP UTAMA
1. KEPRIBADIAN
Eric Berne, pengembang Analisis Transaksional, menyajikan suatu kerangka analisis terhadap tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu: orang tua, orang dewasa, dan anak.
Pengertian tingkatan ego Orang tua, Dewasa, dan Anak-anak bukan lah pengertian Superego, Ego, dan Id dari struktur kepribadian Psikoanalisis klasik dari Sigmund Freud. |
Ego orang tua
Bagian kepribadian yang merupakan introyeksi dari orang tua. Jika ego orang tua itu dialami kembali oleh kita, maka apa yang dibayangkan oleh kita adalah perasaan-perasaan orang tua kita dalam suatu situasi, atau kita merasa dan bertindak terhadap orang lain dengan cara yang sama dengan perasaan dan tindakan orang tua kita terhadap diri kita.
Ego orang tua berisi perintah-perintah ”harus”, ”semestinya”, “lakukan!”, “jangan lakukan!” dan pengharapan orang tua.
Ego orang dewasa
Merupakan bagian data dan informasi yang merupakan bagian objektif dari kepriba-dian, juga menjadi bagian dari kepribadian yang mengetahui apa yang sedang terjadi. la tidak emosional dan tidak menghakimi, tetapi menangani fakta-fakta dan kenyataan eksternal, Berdasarkan informasi yang tersedia, ego orang dewasa menghasilkan pemecahan terbaik bagi masalah tertentu.
Ego anak-anak
Bagian yang berisi perasaan perasaan, dorongan-dorongan, dan tindakan-tindakan spontan. Ego anak-anak bisa berisi:
¾ anak yang impulsif, tak terlatih, spontan, dan ekspresif.
¾ anak yang kreatif, ingin tahu, intuitif, mengandalkan firasat-firasat, juga maniplatif.
¾ anak yang memodifikasi impulsifitas, spontanitas dan ekspresifitas yang disebabkan oleh pengalaman traumatik dan tuntutan-tuntutan anak (merupakan pembelajaran bagaimana anak memperoleh sesuatu atau tidak boleh melakukan sesuatu) agar anak memperoleh belaian.
2. SKENARIO-SKENARIO KEHIDUPAN
Skenario-skenario kehidupan adalah ajaran-ajaran orang tua yang kita pelajari dan putusan-putusan awal yang dibuat oleh kita sebagai anak, yang selanjutnya dibawa oleh kita sebagai orang dewasa. Kita menerima pesan-pesan dan dengan demikian kita belajar dan menetapkan bagaimana kita pada usia dini. Pesan-pesan verbal dan non-verbal orang tua mengkomunikasikan bagaimana mereka melihat kita dan bagaimana kita merasakan bagaimana orangtua melihat diri kita, dan bagaimana kita merespon dan bagaimana kita merasakan harga diri kita. Kita membuat putusan-putusan dini yang memberikan andil pada pembentukan perasaan sebagai pemenang (perasaan "OK") atau perasaan sebagai orang yang kalah (perasaan "Tidak OK").
Dalam kehidupan dewasa banyak tingkah laku kita yang tumbuh dari bagaimana kita "di-skenario-kan" dan dari hasil putusan-putusan dini (dimulai sejak masa kanak-kanak) yang kita buat sendiri.
3. POSISI-POSISI PSIKOLOGIS DASAR
Berkaitan dengan konsep-konsep skenario kehidupan, pesan-pesan dan perintah-perintah orang tua, serta putusan putusan dini itu adalah konsep dalam AT tentang empat posisi dasar dalam hidup, yaitu:
(1) "Saya OK kamu OK",
(2) "Saya OK - Kamu Tidak OK",
(3) "Saya Tidak OK - Kamu OK", dan
(4) "Saya Tidak OK - Kamu Tidak OK".
Jika seseorang telah membuat suatu putusan (saya ada pada posisi psikologis tertentu), maka dia pada umumnya akan bertahan pada putusannya itu kecuali jika ada campur tangan (terapi atau kejadian tertentu) yang mengubahnya.
Saya OK – Kamu OK adalah posisi yang sehat, yaitu posisi dengan perasaan sebagai sesama pemenang. Dalam posisi tersebut, dua orang merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung yang terbuka.
Saya OK - Kamu Tidak OK adalah posisi orang-orang yang memproyeksikan masalah-masalahnya kepada orang lain dan mempersalahkan orang lain. la adalah posisi yang arogan yang menjauhkan seseorang dari orang lain dan mempertahankan seseorang dalam penyingkiran diri.
Saya Tidak OK - Kamu OK adalah posisi orang yang mengalami depresi, yang merasa tak kuasa dibanding dengan orang lain dan yang cenderung menarik diri atau lebih suka memenuhi keinginan orang lain ketimbang keinginan sendiri.
Saya Tidak OK - Kamu Tidak OK adalah posisi orang-orang yang menyingkirkan semua harapan, yang kehilangan minat hidup dan melihat hidup sebagai tidak mengandung harapan.
4. KEBUTUHAN AKAN BELAIAN
Orang-orang ingin dibelai, baik secara fisik maupun secara emosional. Jika kebutuhan akan belaian itu tidak terpenuhi, manusia tidak berkembang secara sehat terutama secara emosional.
Macam-macam belaian dini yang diterima oleh seseorang akan menentukan keputusan dini, dan posisi psikologisnya, dan akhirnya bagaimana orang itu bertingkah laku.
® Menurut AT, kita seharusnya memahami bagaimana kita memperoleh belaian, belajar untuk memperoleh belaian yang kita inginkan, dan bertanggung jawab atas ganjaran-ganjaran atau hukuman-hukuman.
Belaian yang positif adalah esensial bagi perkembangan pribadi yang sehat secara psikologis dengan perasaan OK. Jika belaian yang kita terima itu otentik dan bersumber pada posisi ‘Saya OK - Kamu OK’, kita akan terpelihara dengan baik.
Belaian negatif oleh orang tua mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan anak, yang terampas kehormatannya dan menyebabkan perasaan dan tak berarti. Belaian negatif mengirimkan pesan "Kamu Tidak OK", menyangkut pengecilan, penghinaan, pencemoohan, kesewenangan, dan perlakuan terhadap seseorang sebagai objek. Tidak menerima belaian sama sekali adalah diabaikan seseorang oleh orang lain.
AT mengambil pandangan tentang motivasi manusia bahwa perilaku sehari-hari yang terlihat berdasarkan sejumlah kebutuhan-kebutuhan dasar. Sejumlah kebutuhan dasar mencakup haus akan belaian, haus akan struktur, haus akan kesenangan, dan haus akan pengakuan.
Menurut Berne (1961, 1964) dan Harris (1967), ada enam tipe transaksi yang bisa muncul di antara orang-orang, yakni:
- penarikan diri
- upacara-upacara
- aktivitas-aktivitas
- hiburan
- permainan-permainan, dan
- keakraban.
Lima tipe pertama bisa menyebabkan orang-orang terpisah meskipun beberapa di anta-ranya berguna dan diperlukan untuk mengubah skenario dan untuk mernperoleh belaian.
Permainan-permainan, menurut sifatnya adalah manipulatif dan menghambat serta menjurus pada perasaan-perasaan "Tidak OK". Teori AT menekankan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk mengadakan hubungan yang bisa dicapai dalam bentuknya yang terbaik melalui keakraban, yaitu pada posisi Saya OK - Kamu OK.
Harris (1967) menyatakan bahwa hubungan yang akrab di antara dua orang bisa dianggap sebagai hubungan yang terlepas dari kelima cara pertama, yaitu penarikan diri, hiburan, aktivitas-aktivitas, upacara-upacara, dan permainan-permainan.
5. GAMES PEOPLE PLAY
Dalam dunia nyata, transaksi sekurang-kurangnya melibatkan dua orang yang memain-kan “permainan”. Permainan-permainan boleh jadi memperlihatkan keakraban. Tetapi, orang-orang yang terlibat dalam transaksi-transaksi memainkan permainan dengan menciptakan jarak di antara mereka sendiri dengan meng-impersonalkan atau meng-obyektifikasi pasangannya.
Transaksi permainan akan batal jika salah seorang menjadi sadar bahwa dirinya berada dalam permainan dan kemudian memutuskan untuk tidak lagi memainkannya.
Jadi, langkah pertama untuk “membatalkan transaksi permainan” adalah menyadari sumber-sumber permainan (dari ego-state Orangtua atau Anak), dan mengambil atau membuat keputusan baru (dari ego-state Orang Dewasa).
Permainan-permainan yang umum digunakan orang adalah keluhan-keluhan dan punya banyak persoalan.
“Saya tidak dapat mengambil keputusan, katakan lah apa yang harus saya perbuat”
“Saya takut jangan-jangan saya membuat keputusan yang salah”
“Berapa kali saya hampir celaka, saya benci diri saya sendiri”
“Saya lah pahlawan-nya"
“Ya, … tetapi …”
Para orang tua sering menggunakan serangkaian permainan untuk mengendalikan anaknya (“jangan menonton TV, ayo belajar!”), dan anak membalas dengan permainan-permainan yang bahkan lebih berkembang. Buktinya, anak-anak sangat ahli dalam menemukan permainan-permainan guna menghindari tugas-tugas (“TV banyak menyajikan pengetahuan”¾ padahal ia ingin menonton Spongebob, film anak-anak). Masalah yang ditimbulkan oleh permainan-permainan itu adalah motif yang tersembunyi (hidden agenda) tetap terpendam, dan para pemain memperoleh perasaan Tidak OK.
Tujuan terapi: · Membantu klien agar bebas dari skenario, bebas dari permainan, menjadi pribadi yang otonom yang sanggup memilih ingin menjadi apa dirinya.
· Membantu klien dalam menguji putusan-putusan dini dan membuat putusan-putusan baru berlandaskan kesadaran.
· Menggantikan gaya hidup yang ditandai oleh permainan yang manipulatif dan oleh skenario-skenario hidup yang meng-kalah-kan diri, dengan gaya hidup otonom yang ditandai oleh kesadaran, spontanitas, dan keakraban.
Dalam praktek Analisis Transaksional
¾ Kontrak menyiratkan bahwa klien adalah agen yang aktif dalam proses terapeutik. Sejak permulaan, klien menyatakan tujuan-tujuan terapinya sendiri.
¾ Terapis menerangkan konsep-konsep analisis struktural, analisis transaksional, analisis skenario, dan analisis permainan. Klien diajari untuk menyadari ego yang mana yang berperan dalam transaksi-transaksi yang dijalankan
¾ Terapis membantu klien menemukan kondisi-kondisi masa lalu yang merugikan yang menyebabkan klien membuat putusan awal (skenario dan posisi dasar)
¾ Terapis membantu klien memperoleh kesadaran yang lebih realistis dan mencari alternatif-alternatif guna menjalani kehidupan yang lebih otonom.
¾ Klien merasakan bahwa ia sungguh-sungguh bersama teman (terapis) yang bersedia membantu untuk membuat keputusan-keputusan bagi dirinya sendiri.
¾ Terapis mendorong dan mengajari klien agar lebih mempercayai ego orang dewasanya sendiri ketimbang ego orang dewasa terapis dalam memeriksa putusan-putusan lamanya dan dalam membuat putusan-putusan baru.
Teknik-Teknik Analisis Transaksional
Tiga teknik utama adalah (1) Analisis Skenario, (2) Analisis Strukural, dan (3) Analisis Transaksional itu sendiri. Teknik-teknik lain digunakan mendukung teknik utama tersebut, seperti kursi kosong, bermain peran
Banyak teknik Analisis Transaksional bisa dikombinasikan dengan teknik-teknik Gestalt. Klien berpartisipasi secara aktif dalam penafsiran-penafsiran, dan diajari membuat penafsiran-penafsiran dan penilaian-penilaian sendiri. Konfrontasi sering digunakan.
1. Analisis Transaksional
a) Transaksi Komplementer
Transaksi diantara anak-anak yang suka bermain X: “Aku ingin bermain layangan bersamamu” Y: “Hey.. asyik tuh. Mari kita pergi!” |
b) Transaksi Menyilang
X: “Aku ingin bermain layangan bersamamu” Y: “Ah…, sadar lah. Bertindak lah sesuai usiamu. Aku tidak punya waktu untuk berbuat tolol seperti main layangan” |
c) Transaksi Terselubung
Suami (X) kepada istrinya. X : “Maukah kamu bermain layang-layang ber-samaku, atau mungkin kita harus menyelesaikan laporan pajak?” Pesan terselubung ini didengar oleh istri sebagai: a) : “Mari kita main layang-layang” (Anak-anak ke Anak-anak), atau b) “Bertanggungjawab lah dan selesaikan laporan pajak kita!” (Orangtua ke Orangtua) |
Terapis mendorong klien mengenali dan memahami perwakilan-perwakilan ego-nya. Dengan mengenali ego itu, orang-orang bisa membebaskan diri dari putusan-putusan anak yang telah usang dan dari pesan-pesan orang tua yang irasional, yang menyulitkan kehidupan mereka. Terapis mengajari klien bagian ego mana yang sebaiknya digunakan.
Terapis juga mengungkapkan bahwa klien bisa memahami dialog internalnya antara orang tua dan anak. Mereka juga bisa mendengar dan memahami hubungan mereka dengan orang lain. Mereka bisa sadar akan kapan mereka terus terang dan kapan mereka berbohong kepada orang lain. Dengan menggunakan prinsip-prinsip AT, orang-orang bisa sadar akan jenis belaian yang diperolehnya, dan mereka bisa mengubah respons-respons belaian dari negatif ke positif.
2. Analisis struktural
Klien belajar bagaimana mengenali isi dan fungsi ego-state orangtua, dewasa dan anak-anak. Klien dibantu dalam menemukan perwakilan ego mana yang menjadi dasar perilakunya.
a) Pencemaran
Pencemaran terjadi bila isi perwakilan ego yang satu bercampur dengan perwakilan egi yang lain.
· Pencemaran ego Dewasa oleh ego Orangtua secara khas dimanifestasikan melalui gagasan dan sikap-sikap prasangka. Misalnya, ”Jangan bergaul dengan orang-orang yang bukan berasal dari golongan kita”. Artinya data dari Orangtua yang usang dan tidak diteliti lagi dianggap benar.
· Pencemaran ego Dewasa oleh ego Anak-anak adalah persepsi kenyataan yang mengalami distorsi. Misalnya, ”Dunia ini mengerikan”, ” Segala yang saya inginkan harus saya peroleh sekarang juga”
Anak yang traumatik akibat kekejaman orangtuanya menyebabkan ego-state Orang Dewasa-nya tidak dapat mengolah data sesuai kenyataan. ”Dunia ini mengerikan” dimasa kanak-kanaknya menyebabkan seseorang takut irrasional (keyakinan dan kepercayaannya keliru) atau mengalami delusi.
Anak traumatik yang kemudian mengalami kembali kekejaman secara lahiriah maka rekaman dari masa kanak-kanak ’muncul seperti sungguh-sungguh’. Ia akan ”mendengar” suara-suara sebagai ancaman. Ia mengalami halusinasi (persepsi yang keliru)
b) Penyisihan (eksklusi, pengeluaran)
Penyisihan terjadi bila ego Dewasa dicemari oleh ego-state Orangtua, dan ego-state Anak-anak disisihkan (dibungkam)
| Dominasi ego-state Orangtua menyebabkan ego-state Anak-anak ditekan habis-habisan oleh orangtua yang serius, keras dan terikat pada tugas. Orang semacam ini di kemudian hari tenggelam dalam tugas, selalu bekerja tanpa megenalwaktu dan mengabaikan keluarganya yang ingin berekreasi dan bersenang-senang. |
Penyisihan bisa juga terjadi bila ego Dewasa dicemari oleh Anak-anak , dan ego-state Orangtua disisihkan
| Keadaan ini tumbuh pada orang yang orangtuanya bersifat sangat kasar dan menakutkan, atau sebaliknya yaitu memanjakan membabi buta, sehingga satu-satunya jalan untuk hidup adalah membungkam mereka. Skenario awal anak semacam ini adalah Saya Tidak OK – Kamu OK, namun kemudian diubahnya menjadi Saya OK – Kamu Tidak OK. Sedemikian Tidak OK-nya orangtuanya sampai anak mematikan orangtuanya dari dunia psikologis anak, sehingga anak tidak memiliki ego-state Orangtua sampai ia dewasa. |
Karena orang semacam itu tidak memiliki rekaman ”keharusan” dan ”larangan” yang berfungsi sebagai kontrol sosial. Tingkahlakunya dikuasai oleh ego-state Anak-anak, yang melalui ego-state Dewasa yang ternoda, memperlakukan orang lain sebagai alat untuk mencapai tujuannya sendiri. Orang semacam ini dapat menjadi psikopat
3. Analisis skenario
Penetapan skenario awal terjadi secara non-verbal pada masa kanak-kanak melalui pesan-pesan orangtua. Analisis skenario adalah bagian dari proses terapeutik yang memungkin-kan pola hidup yang diikuti oleh individu bisa kita kenali. Ketika menjadi sadar akan skenario kehidupannya, klien siap untuk mengubah program dan memutuskan skenario baru yang lebih otonom.
Penerapan dan sumbangan Analisis Transaksional
Teknik-teknik pendekatan ini bisa diterapkan pada hubungan orang tua anak, belajar di kelas, pada konseling dan terapi individual serta kelompok, dan pad a konseling perkawinan. Sumbangan utamanya adalah perhatiannya pada transaksi-transaksi berkenaan dengan fungsi perwakilan-perwakilan ego.
XV. TERAPI RASIONAL – EMOTIF (7)
TRE banyak kesamaannya dengan terapi-terapi yang berorientasi kognitif-perilaku-tindakan, dalam arti menitikberatkan berpikir, menilai, memutuskan, menganali-sis, dan bertindak. TRE sangat didaktik dan sangat direktif serta lebih banyak berurus-an dengan dimensi-dimensi pikiran daripada dengan dimensi-dimensi perasaan.
Sampai mana keefektifan usaha membebaskan klien dari "keyakinan-keyakinan irrasional" -nya dengan menggunakan logika, nasihat, informasi, dan penafsiran-penafsiran?
KONSEP-KONSEP UTAMA
1. KOGNISI
Tidak ada yang baik atau buruk, hanya fikiran yang membuatnya demikian. (Hamlet, aksi II, adegan 2)
Kognisi adalah istilah yang mengelompokkan proses-proses mental seperti mengamati, mengenali, membayangkan, menilai, dan melakukan penalaran.
Paradigma kognitif berfokus pada bagaimana manusia menyusun berbagai pengalaman mereka (menyaring berbagai stimulus yang jauh lebih banyak dari yang mampu kita respons), bagaimana kita membuat pengalaman-pengalaman tersebut menjadi masuk akal, dan bagaimana kita menghubungkan berbagai pengalaman masa kini dengan berbagai pengalaman masa lalu yang tersimpan dalam memori kita. Atau bagaimana kita mengubahnya ke dalam kata-kata atau citra, menyusun hipotesis, dan sampai pada persepsi tentang apa yang ada di luar diri kita.
Situasi berikut ini menggambarkan bagaimana skema mengubah cara memproses dan mengingat informasi.
Seorang pria berdiri di depan cermin dan menyisir rambutnya. Ia mengamati wajahnya dengan teliti untuk melihat bila ada bagian yang belum tercukur rapi dan kemudian memakai dasi konservatif yang telah dipilihnya. Pada saat sarapan, dia membaca surat kabar dengan teliti dan sambil minum kopi, membicarakan kemungkinan untuk membeli mesin cuci baru dengan istrinya. Kemudian dia menelepon beberapa kali. Sambil berjalan keluar rumah dia berpikir tentang fakta bahwa anak-anaknya munkin ingin pergi lagi ke kamp pribadi di musim panas ini. Ketika mesin mobil tidak dapat dihidupkan, dia keluar dari mobil, membanting pintunya dan berjalan ke halte bis dengan perasaan sangat marah. Dia pasti akan terlambat. (Bransford & Johnson, 1973, hlm. 415)
Bagian apa di surat kabar yang dibaca pria tersebut?
Sekarang bacalah lagi kutipan di atas, namun tambahkan kata "pengangguran" setelah kata "pria". Bagian apa di surat kabar yang dibaca pria tersebut?
Kemudian baca lagi kutipan di atas untuk ketiga kalinya, mengganti kata "pria" de-ngan "pialang saham".
Perhatikan betapa berbedanya Anda memahami baris kalimat tersebut.
Kognisi pada perilaku abnormal
- Penjelasan kognitif banyak dimunculkan dalam pencarian penyebab abnormalitas. Misalnya, depresi disebabkan oleh serangkaian kognitif tertentu, berupa perasaan tidak berdaya yang menguasai individu.
- Orang depresi meyakini bahwa mereka orang yang tidak punya pengaruh apa pun di lingkungannya. Takdir tersebut berada di luar jangkauan tangan dan mereka melihat masa depan secara negatif.
- Neurosis adalah pemikiran dan perilaku irasional. Gangguan-gangguan emosional berakar pada masa kanak-kanak, tetapi dikekalkan melalui reindoktrinasi sekarang. Sistem keyakinan adalah penyebab masalah-masalah emosional. Oleh karenanya, klien ditantang untuk menguji kesahihan keyakinan-keyakinan tertentu.
2. PENDANGAN TENTANG MANUSIA
- TRE adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia di-lahirkan dengan potensi baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat.
- Manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancur-kan diri, menghindari rasionalitas, menyesali kesalahan-kesalahan tak berke-sudahan. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku pada pola-pola peri-aku lama yang tidak fungsional.
- Manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk memaksakan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang diinginkan-nya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain
- Manusia tidak ditakdirkan untuk menjadi korban pengkondisian awal. Manusia memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan, untuk mengkonfrontasikan sistem-sistem nilainya sendiri dan mereindoktrinasi diri dengan keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan, dan nilai-nilai yang baru. Sebagai akibatnya, mereka akan berperilaku berbeda. Jadi, karena bisa berpikir dan bertindak manusia mampu merubah dirinya.
Terapi Perilaku Rasional Emotif Ellis.
Albert Ellis adalah terapis perilaku kognitif terkemuka lainnya. Tesis utamanya adalah berbagai reaksi emosional yang terus-menerus disebabkan oleh kalimat-kalimat internal yang berulang-ulang dikatakan kepada diri sendiri dan pernyataan diri tersebut mencerminkan berbagai asumsi yang kadangkala tidak terucapkan-keyakinan irasional (irrational beliefs)-tentang apa yang diperlukan untuk menjalani hidup yang bermakna.
Terapi rasional-emotif Ellis (RET-Rational-Emotive Therapy), yang sekarang disebut terapi perilaku rasional-emotif (REBT-Rational-Emotive Behavior Therapy) (Ellis, 1993a, 1995), bertujuan untuk menghapus keyakinan-keyakinan yang merusak diri sendiri. Para pencemas, sebagai contoh, dapat menciptakan persoalan mereka sendiri dengan memberikan tuntutan yang tidak realistis pada diri sendiri atau orang lain, seperti, "Saya harus dicintai semua orang." Atau seorang penderita depresi mungkin berkata seperti ini beberapa kali dalam sehari, "Sungguh aku ini orang bodoh yang tak berguna." Ellis menyatakan bahwa individu menginterpretasi apa yang terjadi di sekitar mereka, bahwa kadangkala interpretasi tersebut dapat mengakibatkan gangguan emosional, dan bahwa perhatian terapis harus difokuskan pada keyakinan-keyakinan tersebut bukan pada penyebab dari masa lalu atau, tentu saja, pada perilaku yang terlihat (Ellis, 1962,1984).
Ellis biasanya menyusun daftar keyakinan irasional yang dapat dimiliki individu.
Salah satu keyakinan yang paling umum adalah bahwa mereka harus sepenuhnya kompeten dalam semua hal yang mereka lakukan. Ellis berpendapat banyak orang yang benar-benar meyakini asumsi yang tidak dapat dipertahankan tersebut dan mengevaluasi setiap peristiwa dalam konteks ini. Dengan demikian, jika seseorang melakukan kesalahan, hal itu menjadi bencana besar karena melanggar keyakinan yang dipegang secara mendalam bahwa dia harus menjadi orang yang sempurna. Kadangkala sangat mengejutkan bagi klien ketika menyadari bahwa mereka sungguh-sungguh mempercayai parameter tersebut dan sebagai akibatnya mereka menjalani kehidupan yang sangat tidak memungkinkan mereka untuk hidup nyaman dan produktif.
Belum lama ini, Ellis (1991; Kendall dkk., 1995) beralih dari menyusun daftar keyakinan spesifik ke konsep yang lebih umum ten tang "demandingness," yaitu hal-hal yang menjadi keharusan yang diterapkan orang-orang pada diri sendiri dan pada orang lain. Yaitu, alih-alih menginginkan sesuatu terjadi dengan cara tertentu, merasa kecewa, dan kemudian mungkin melakukan beberapa tindakan yang dapat memberikan hasil yang dikehendaki, orang tersebut menuntut harus terjadi seperti demikian. Tuntutan yang tidak realistis dan tidak produktif inilah yang, menurut hipotesis Ellis, menimbulkan penderitaari emosional dan disfungsi perilaku yang membuat orang mendatangi terapis.
TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara simultan. "Ketika mereka beremosi, mereka juga berpikir dan bertindak. Ketika mereka bertindak, mereka juga berpikir dan beremosi. Ketika mereka berpikir, mereka juga beremosi dan bertindak".
Tujuan terapi: Menghapus pandangan hidup klien yang bersikap kalah
Membantu klien dalam memperoleh pandangan hidup yang lebih toleran dan rasional
Teknik-Teknik Terapi Rasional-Emotif
Pendekatan ini menggunakan prosedur yang beragam seperti mengajar, membaca, "pekerjaan rumah", dan penerapan metode ilmiah logis bagi pemecahan masalah. Teknik-teknik dirancang untuk melibatkan klien ke dalam evaluasi kritis atas filsafat hidupnya. Diagnosis yang spesifik dibuat. Terapis menafsirkan, bertanya, menggali, menantang, dan mengonfrontasikan klien.
Implementasi Klinis REBT.
Setelah memahami berbagai masalah klien, terapis menyampaikan teori dasar terapi perilaku rasional-emotif sehingga klien dapat memahami dan menerimanya. Transkrip berikut ini diambil dari suatu sesi dengan seorang pria muda yang memiliki ketakutan berlebihan untuk berbicara di depan sekelompok orang. Terapis membimbing klien untuk memandang kompleks rasa rendah diri (inferiority complex) yang dialaminya dalam kaitan dengan hal-hal yang tidak beralasan yang mungkin dikatakannya pada diri sendiri. Fikiran-fikiran terapis selama berlangsungnya wawancara dicetak dalam huruf miring.
Klien: | Kesulitan utama saya adalah saya sangat tegang bila harus berbicara di depan sekolompok orang. Saya kira hal itu inferiority complex yang saya alami |
Terapis: | (Saya tidak ingin menyimpang dari poin ini dengan berbicara tentang konseptualisasi masalahnya. Saya harus mencoba mengalihkannya secara halus ke hal lain) Kita belum tahu apakah benar itu inferiority complex, tetapi saya percaya bahwa orang dapat, secara alami, membawa kesulitan dan kecemasan mereka dalam berbagai situasi tertentu. Ketika Anda berada dalam satu situasi tertentu, sering kali kecemasan Anda tidak disebabkan oleh situasi itu sendiri, namun lebih disebabkan oleh cara anda menginterpretasi situasi tersebut- apa yang ingin Anda katakan pada diri sendiri tentang situasi tersebut. Sebagai contoh, lihatlah pena ini. Apakah pena ini membuat Anda cemas? |
Klien: | Tidak. |
Terapis: | Mengapa? |
Klien: | Itu hanyalah sebuah objek. Hanya sebuah pena |
Terapis: | Ia tidak dapat meyakiti Anda? |
Klien: | Tidak. ... |
Terapis: | Sebenarnya bukan objeknya yang menimbulkan penderitaan emosional bagi seseorang, tetapi apa yang anda pikirkan tentang objek itu. (Saya harap, dialog seperti socratik ini pada akhimya akan membuatnya berkesimpulan bahwa pernyataan diri dapat menjadi penyebab ketegangan emosi). Sekarang hal ini benar untuk. …. berbagai situasi di mana penderitaan emosi-onal disebabkan oleh apa yang dikatakan seseorang pada dirinya sendiri tentang situasi tersebut. Ambillah, sebagai contoh, dua orang yang akan menghadiri pertemuan sosial yang sama. Keduanya mungkin mengetahui berapa tepatnya jumlah orang yang hadir dalam pesta tersebut, namun hanya seorang yang optimis dan tenang menghadapi pertemuan tersebut, sedangkan yang lainnya mengkhawatirkan bagaimana penampilannya di mata orang-orang sehingga akibatnya ia merasa sangat cemas. (Saya akan mencoba mengarahkannya agar mampu menyimpulkan asumsi dasar bahwa sikap atau persepsi adalah hal terpenting di sini.) Jadi, ketika dua orang ini memasuki tempat pesta, apakah reaksi emosional mereka dipengaruhi oleh bagaimana pesta tersebut berlangsung? |
Klien: | Tidak, tentu saja tidak. Bukan karena pestanya. |
Terapis: | Kalau begitu apa yang memengaruhi reaksi mereka? |
Klien: | Mereka jelas memiliki sikap yang berbeda terhadap pesta tersebut. |
Terapis: | Tepat, dan sikap mereka... cara mereka menghadapi situasi—sangat mempengaruhi reaksi emosional mereka. |
Goldfried & Davison, 1994 hlm 163-165) |
Setelah berhasil mempengaruhi klien bahwa masalah emosionalnya akan dapat diatasi melalui pengujian rasional, terapis mengajarkan klien untuk mengganti pernyataan diri yang irasional dengan dialog internal yang bertujuan mengurangi penderitaan emosional.
Setelah klien menyatakan keyakinan atau pernyataan diri yang berbeda dalam sesi terapi, hal tersebut harus menjadi bagian pemikiran sehari-hari. Ellis dan para pengikutnya memberikan tugas-tugas.rumah kepada para klien yang dirancang untuk memberi kesempatan bagi klien bereksperimen dengan percakapan diri yang baru dan mengalami konsekuensi positif dari memandang kehidupan dengan cara yang tidak membahayakan. Ellis menekankan pentingnya membuat klien berperilaku berbeda, baik untuk menguji coba berbagai keyakinan baru maupun untuk belajar menghadapi berbagai kekecewaan hidup.
Penerapan dan sumbangan Terapi Rasional Emotif
Pendekatan Inl menekankan pentingnya pemikiran sebagai dasar dari gangguan-gangguan pribadi. Sumbangan utamanya adalah penekanannya pada keharusan praktek dan bertindak menuju perubahan perilaku masalah.
XVI. TERAPI REALITAS (8)
Terapi realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada perilaku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengkonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain.
Terapi realitas membantu orang-orang dalam mencapai suatu "identitas keberhasilan", dan menekankan tanggungjawab pribadi sebagai inti dari terapi. Terapi realitas adalah bentuk modifikasi perilaku tipe pengondisian operan yang tidak ketat (relatif sederhana dan tidak berbelit-belit).
KONSEP KONSEP UTAMA
1. PANDANGAN TENTANG MANUSIA
· Terapi realitas berlandaskan premis bahwa ada suatu kebutuhan psikologis tunggal yang hadir sepanjang hidup, yaitu kebutuhan akan identitas, yang mencakup suatu kebutuhan untuk merasakan keunikan. Akan sangat berguna apabila identitas diang-gap dalam pengertian "identitas keberhasilan" lawan "identitas kegagalan".
· Dalam pembentukan identitas, manusia mengembangkan keterlibatannya dengan orang lain dan dengan citra diri, yang dengannya kita merasa relatif berhasil atau tidak berhasil. Orang lain memainkan peranan yang berarti dalam memahami identitas kita sendiri. Cinta dan penerimaan berkaitan langsung dengan pembentukan identitas.
· Dasar dari terapi realitas adalah membantu klien memenuhi kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencakup kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, dan kebutuhan untuk merasakan bahwa klien berguna bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain
· Manusia memiliki "kekuatan pertumbuhan", mendorong kita untuk berusaha men-capai suatu identitas keberhasilan. Penderitaan pribadi bisa diubah hanya dengan perubahan identitas. Glasser dan Zunin (1973), "Kami percaya bahwa masing-masing individu memiliki suatu kekuatan ke arah kesehatan atau pertumbuhan. Pada dasar-nya, orang ingin puas hati dan menikmati suatu identitas keberhasilan, menunjukkan perilaku yang bertanggung jawab dan memiliki hubungan interpersonal yang penuh makna".
· Jadi, terapi realitas tidak berpijak pada filsafat deterministik tentang manusia, tetapi dibangun di atas asumsi bahwa manusia adalah agen yang menenukan dirinya sendiri
2. CIRI-CIRI TERAPI REALITAS
a. Terapi realitas menolak konsep tentang penyakit mental. Bentuk-bentuk gangguan perilaku dan gangguan mental adalah akibat dari tingkahlaku tidak bertanggungjawab. Pendekatan ini tidak menggunakan diagnosis psikologis. Kesehatan mental adalah perilaku yang bertanggung jawab.
b. Terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah-laku sekarang. Terapi realitas tidak berfokus pada perasaan-perasaan dan sikap-sikap Terapis realitas juga tidak untuk mengubah sikap-sikap, tetapi perubahan sikap mengikuti perubahan perilaku.
c. Terapi realitas berfokus pada saat sekarang, yang bisa diubah hanyalah saat sekarang. Kalaupun didiskusikan dalam terapi, masa lampau selalu dikaitkan dengan perilaku klien sekarang.
d. Terapis mengeksplorasi segenap aspek kehidupan klien sekarang, mencakup harapan, ketakutan, dan nilai-nilainya. Terapi menekankan kekuatan-kekuatan, potensi-potensi, keberhasilan-keberhasilan, dan kualitas-kualitas yang positif dari klien (… dan menegaskannya dalam percakapan-percakapan), dan tidak hanya memperhatikan kemalangan dan gejala-gejalanya. Klien dipandang sebagai "pribadi dengan potensi yang luas, bukan hanya sebagai pasien yang memiliki masalah". "Mengapa terlibat dengan orang (klien) yang dulunya tidak bertanggung jawab? Kita ingin terlibat dengan orang yang kita tahu bisa menjadi orang yang bertanggung jawab" (Glasser, 1965, him. 32).
e. Terapi realitas menempatkan peran klien dalam menilai kualitas perilakunya sendiri dalam menentukan apa yang mendorong kegagalannya, atau melihat sifat-sifat konstruktif dan destruktif dalam perilakunya. Jika kesadaran klien meningkat bahwa keinginan yang tidak realisis tidak akan tercapai, ia tidak akan memperoleh apa-apa, maka ada kemungkinan untuk terjadinya perubah-an positif.
f. Terapi realitas tidak menekankan transferensi. Terapis diminta kesejatian dalam membantu klien. Menjadi diri sendiri, dan tidak memainkan peran sebagai ayah atau ibu klien. Klien mencari suatu keterlibatan manusiawi yang memuaskan dengan terapis dalam keberadaan mereka sekarang.
g. Terapis realitas memeriksa kehidupan klien sekarang dan berasumsi bahwa di alam sadarnya klien akan menemukan sebab-sebab kegagalannya. Menekan-kan ketidaksadaran berarti mengelak dari perilaku tidak bertanggungjawab, dan memaafkan kegagalan klien.
h. Pemahaman tidak dianggap sebagai sesuatu yang esensial untuk menghasilkan perubahan.
i. Terapi realitas menghapus hukuman. Hukuman karena seseorang gagal melak-sanakan rencana-rencana mengakibatkan “identitas kegagalan” pada klien semakin kuat. Sebagai ganti penggunaan hukuman, Glasser menganjurkan untuk membiarkan klien mengalami konsekuensi-konsekuensi yang wajar dari perilakunya.
j. Terapi realitas menekankan tanggungjawab, yang oleh Glasser didefinisikan sebagai "kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri dan melakukannya dengan cara tidak mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhankebutuhan mereka". Belajar tanggung jawab adalah proses seumur hidup
Tujuan terapi:
- Membimbing klien ke arah mempelajari perilaku yang realistis dan bertang-gungjawab serta mengembangkan "identitas keberhasilan". Dalam hal ini membantu klien mencapai otonomi. Otonomi adalah kematangan yang diperlukan seseorang untuk mengganti dukungan lingkungan (eksternal) dengan dukungan internal. Kematangan ini menyiratkan bahwa sesorang mampu bertanggung jawab atas siapa mereka dan ingin menjadi apa mereka serta mengembangkan rencana-rencana yang bertanggung jawab dan realistis guna mencapai tujuan-tujuan mereka.
- Membantu klien dalam membuat penilaian atas perilakunya sendiri (akibat pembentukan identitas kegagalan), menentukan dan memperjelas tujuan-tujuan mereka, dan menemukan alternatif-alternatif dalam mencapai tujuan-tujuan, dalam hal mana klien sendiri yang menetapkan tujuan-tujuan terapi baginya.
Teknik-Teknik Terapi Realitas
Terapi realitas bisa ditandai sebagai terapi yang aktif secara verbal, bersifat direktif dan didaktik. Terapis bisa menggunakan (1) permainan peran dengan klien, (2) berperan bertindak sebagai model dan guru. Secara umum tidak ada teknik khusus dalam terapi realitas. Terapis juga melakukan teknik konfrontatif.
Dalam praktek terapi realitas
· Terapi realitas berlandaskan hubungan atau keterlibatan pribadi antara terapis dan klien. Terapis, dengan kehangatan, pengertian, penerimaan, dan kepercayaannya atas kesanggupan klien untuk mengembangkan suatu identitas keberhasilan, harus mengkomunikasikan bahwa dia menaruh perhatian pada klien.
· Perhatian terapeutik diberikan kepada orang yang belum belajar atau kehilangan kemampuan untuk menjalani kehidupan yang bertanggung jawab, yaitu mereka yang memperoleh “identitas kegagalan”.
· Terapis menantang para klien untuk memandang secara kritis apa yang mereka perbuat dengan kehidupan mereka dan kemudian membuat pertimbangan-pertimbangan nilai yang menyangkut keefektifan tingkah laku mereka.
· Terapis juga menunjukkan sikap menolak sikap menyalahkan kegagalan dan alasan-alasan klien-nya. Menerima alasan-alasan mengapa suatu rencana gagal adalah tindakan memperkuat identitas kegagalan.
Dalam menolak alasan klien, terapis bisa mengonfrontasikan klien dan menggunakan "terapi kejutan verbal" atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis
· Jika seorang klien mengeluh bahwa dirinya merasa cemas, terapis bisa bertanya kepada klien, "Apa yang Anda lakukan untuk membuat diri sendiri cemas?" Fokusnya bukanlah perasaan cemas, melainkan membantu klien agar memperoleh kesadaran atas apa yang dilakukannya sekarang yang menjadikan dirinya cemas
· Karena para klien bisa mengendalikan tingkah lakunya lebih mudah daripada mengendalikan perasaan-perasaan dan pikirannya, maka tingkah laku mereka itu menjadi fokus terapi.
· Dalam terapi realitas tindakan adalah esensial. Terapis membantu klien agar mengenali cara-cara yang spesifik untuk mengubah tingkah laku kegagalan menjadi tingkah laku keberhasilan.
· Klien membuat penilaian tertentu tentang tingkah lakunya sendiri serta memutuskan bahwa mereka ingin berubah, mereka diharapkan membuat rencana-rencana yang spesifik guna mengubah tingkah laku yang gagal menjadi tingkah laku yang berhasil.
· Klien harus membuat suatu komitmen untuk melaksanakan rencana-rencana ini; tindakan menjadi keharusan. Mereka tidak bisa menghindari komitmen dengan mempersalahkan, menerangkan, atau memberilkan alasan. Mereka harus terlibat aktif dalam pelaksanaan kontrak-kontrak terapi mereka sendiri secara bertanggung jawab apabila ingin mencapai kemajuan. “Ciri utama orang-orang yang memiliki identitas kegagalan adalah bahwa mereka memiliki keengganan yang kuat untuk berkomitmen melaksanakan rencana perbaikan bagi mereka sendiri". Oleh karena itu, dengan menjalani rencana-rencana itu para klien diharapkan bisa memperoleh rasa berguna.
· Bahwa tidak semua komitmen klien bisa terlaksana. Akan tetapi, jika rencana gagal, terapis realitas tidak tertarik mendengar alasan-alasan, kegagalan rencana klien. Glasser menegaskan bahwa terapis jangan menyalahkan klien atas kegagalannya, juga jangan menjadi "detektif" untuk mencari sebab-sebab kegagalan itu. Terapis harus berfokus pada apa maksud klien menyelesaikan sesuatu yang diputuskan untuk dilaksanakan dan tidak perlu bertanya sebab kegagalannya.
· Yang esensial bagi terapis adalah "mendorong klien agar menghadapi kenyataan dari tingkah lakunya". Tugas terapis adalah memberikan perhatian yang cukup sehingga klien mampu "menghadapi suatu kebenaran bahwa klien telah menghabiskan hidupnya dengan mencoba menghindarinya; dia bertanggung jawab atas tingkah lakunya sendiri".
· Psikiater yang mempraktekkan terapi realitas tidak menggunakan obat-obatan sebab obat cenderung menyingkirkan tanggungjawab pribadi.
· Evaluasi atas apa yang dilakukan oleh klien secara sinambung dilakukan selama terapi.
Penerapan dan sumbangan Terapi Realitas
Pendekatan ini pada mulanya dirancang bagi penanganan para remaja di lembaga-Iembaga rehabilitasi. Terapi realitas sekarang digunakan secara luas oleh para pendidik di sekolah-sekolah dasar dan menengah. la juga bisa diterapkan pada terapi individual dan kelompok serta pada konseling perkawinan.
0 komentar:
Posting Komentar